#30HariMenulis
-Ketujuh-
Angin menyeruak masuk lewat pintu yang terbuka lebar,
membawa bau tanah yang basah sejak semalam. Sesosok lelaki paruh baya berdiri
di beranda. Punggungnya yang dulu tegap kini tampak sedikit membungkuk. Lagi-lagi
ayah keluar di cuaca sedingin ini.
‘Ayah, masuklah. Jika ayah sakit, nanti semua orang yang
repot. Kasihanilah sedikit tubuh rentamu.’
‘Apa kau juga kedinginan, Nak? Akhir-akhir ini hujan
seringkali datang. Lihatlah, bunga kesayanganmu itu, basah kuyup semua.’
‘Tak apa, Ayah. Biarkan saja, biar mereka bersih dari debu
jalanan. Bukankah hujan membuat mereka semakin cantik?’
Ayah membisu, raut wajahnya mengeras tanda ada mengganggu
pikirannya.
Bau Ramadhan sudah mulai tercium sedari kemarin, bau hangat
yang menyenangkan yang sulit untuk dijelaskan. Sejak pagi, orang ramai lalu
lalang di depan rumah, beberapa diantaranya adalah para tetangga yang membawa
banyak belanjaan, persiapan menyambut sahur pertama. Maklum rumah kami berada
dekat pasar tradisional yang cukup besar. Biasanya, aku dan ibu berbelanja di
hari kedua sebelum ramadhan agar pasar belum terlalu penuh. Hal pertama yang
kami cari adalah labu kuning, karena ayah dan abang pasti minta dibuatkan
kolaknya untuk buka hari pertama. Tapi beberapa tahun terakhir ini kami sudah
jarang melakukannya karena aku harus pindah mengikuti laki-laki yang telah
menjadi suamiku, sedangkan abang tinggal di luar kota dan hanya pulang
sesekali.
‘Aki……’ Seorang anak lelaki berbaju koko putih berlari menghampiri ayah. Usianya
belum genap lima tahun.
Aku tersenyum menatap tingkahnya yang langsung bergelayut
manja pada ayah. Rasanya sudah lama sejak terakhir kami main bersama. Seperti kebanyakan anak lelaki pada umumnya dia paling senang main perang-perangan, dan selalu
serius setiap kali melakukan ‘serangan’ terhadapku. Tapi tawanya yang renyah selalu
membuatku luluh dan menyerah kalah. Ayah dan ibu pun teramat memanjakannya, bahkan mungkin melebihi perlakuan mereka padaku dan abang sewaktu kami masih kecil dulu.
‘Aki, ayo katanya kita mau nengok mamah… Papah sama nenek
udah siap-siap tuh. Ayo Ki, cepet.’
Dia merengek sambil menarik pelan kakeknya hingga ke dalam
rumah. Anak ini tak pernah berubah.
‘Kamu ini, memang paling nggak bisa sabar. Kasihan kan Aki
kalo ditarik-tarik begitu.’ Aku mencoba mengingatkannya, tapi tampaknya tak
berhasil.
Ayah hanya tersenyum sembari mengangkat anak itu ke dalam
pangkannya.
‘Aki udah siap dari tadi. Nih, emang kamu nggak lihat kalau
Aki udah ganteng?’
Anak itu menatap kakeknya dengan serius. Mungkin dia heran
dengan definisi ganteng yang diucapkan oleh ayah.
‘Memangnya Novan nanti mau ngapain kalo ketemu mamah?’
‘Novan mau cerita-cerita sama mamah, Ki, kalo Novan besok
mau puasa. Novan juga mau berdoa sama Alloh biar mamah seneng.’
Ayah menatap cucunya dengan haru bercampur bangga. Setitik
air mengalir dari ujung kelopak matanya. Hanya setitik karena ia langsung
menyekanya agar tak ada yang sadar.
‘Cucu Aki memang pinter. Terus, udah hapal doanya?’
‘Udah dong, kan udah diajarin Papah. Ya kan, Pah?’
Novan turun dari pangkuan ayah dan lagi-lagi berlari
menyambut sesosok lelaki yang ia panggil Papah, lelaki berkaca mata yang selalu
menjadi partner in crimenya saat ‘berperang’.
Lelaki itu muncul bersama ibu yang membawa sekeranjang bunga segar di tangan.
Mereka berempat berjalan beriringan keluar rumah. Tepat sebelum pintu tertutup,
ayah menatapku dengan lembut. Kali ini aku melihat seulas senyuman dari bibirnya.
Sekarang ruangan ini terasa sepi. Tak ada perabotan atau
pernak-pernik selain kursi-kursi kosong dan meja kayu polos yang menemani. Baik
ayah maupun ibu memang tak suka ruangan yang terlalu ramai. ‘Capek beresinnya,’
begitu alasan mereka. Hanya ada sebuah foto keluarga berukuran cukup besar yang
tertempel di salah satu dindingnya. Foto terakhir saat kami sekeluarga dalam
formasi lengkap.
Dari kejauhan, sayup-sayup kudengar doa yang mereka berikan.
Semakin lama semakin jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar