Selasa, 07 Juni 2016

RINDU

#30HariMenulis

-Ketujuh-

Angin menyeruak masuk lewat pintu yang terbuka lebar, membawa bau tanah yang basah sejak semalam. Sesosok lelaki paruh baya berdiri di beranda. Punggungnya yang dulu tegap kini tampak sedikit membungkuk. Lagi-lagi ayah keluar di cuaca sedingin ini.

‘Ayah, masuklah. Jika ayah sakit, nanti semua orang yang repot. Kasihanilah sedikit tubuh rentamu.’

‘Apa kau juga kedinginan, Nak? Akhir-akhir ini hujan seringkali datang. Lihatlah, bunga kesayanganmu itu, basah kuyup semua.’

‘Tak apa, Ayah. Biarkan saja, biar mereka bersih dari debu jalanan. Bukankah hujan membuat mereka semakin cantik?’

Ayah membisu, raut wajahnya mengeras tanda ada mengganggu pikirannya.

Bau Ramadhan sudah mulai tercium sedari kemarin, bau hangat yang menyenangkan yang sulit untuk dijelaskan. Sejak pagi, orang ramai lalu lalang di depan rumah, beberapa diantaranya adalah para tetangga yang membawa banyak belanjaan, persiapan menyambut sahur pertama. Maklum rumah kami berada dekat pasar tradisional yang cukup besar. Biasanya, aku dan ibu berbelanja di hari kedua sebelum ramadhan agar pasar belum terlalu penuh. Hal pertama yang kami cari adalah labu kuning, karena ayah dan abang pasti minta dibuatkan kolaknya untuk buka hari pertama. Tapi beberapa tahun terakhir ini kami sudah jarang melakukannya karena aku harus pindah mengikuti laki-laki yang telah menjadi suamiku, sedangkan abang tinggal di luar kota dan hanya pulang sesekali.

‘Aki……’ Seorang anak lelaki berbaju koko putih berlari menghampiri ayah. Usianya belum genap lima tahun.

Aku tersenyum menatap tingkahnya yang langsung bergelayut manja pada ayah. Rasanya sudah lama sejak terakhir kami main bersama. Seperti kebanyakan anak lelaki pada umumnya dia paling senang main perang-perangan, dan selalu serius setiap kali melakukan ‘serangan’ terhadapku. Tapi tawanya yang renyah selalu membuatku luluh dan menyerah kalah. Ayah dan ibu pun teramat memanjakannya, bahkan mungkin  melebihi perlakuan mereka padaku dan abang sewaktu kami masih kecil dulu.

‘Aki, ayo katanya kita mau nengok mamah… Papah sama nenek udah siap-siap tuh. Ayo Ki, cepet.’

Dia merengek sambil menarik pelan kakeknya hingga ke dalam rumah. Anak ini tak pernah berubah.

‘Kamu ini, memang paling nggak bisa sabar. Kasihan kan Aki kalo ditarik-tarik begitu.’ Aku mencoba mengingatkannya, tapi tampaknya tak berhasil.

Ayah hanya tersenyum sembari mengangkat anak itu ke dalam pangkannya.

‘Aki udah siap dari tadi. Nih, emang kamu nggak lihat kalau Aki udah ganteng?’

Anak itu menatap kakeknya dengan serius. Mungkin dia heran dengan definisi ganteng yang diucapkan oleh ayah.

‘Memangnya Novan nanti mau ngapain kalo ketemu mamah?’

‘Novan mau cerita-cerita sama mamah, Ki, kalo Novan besok mau puasa. Novan juga mau berdoa sama Alloh biar mamah seneng.’

Ayah menatap cucunya dengan haru bercampur bangga. Setitik air mengalir dari ujung kelopak matanya. Hanya setitik karena ia langsung menyekanya agar tak ada yang sadar.

‘Cucu Aki memang pinter. Terus, udah hapal doanya?’

‘Udah dong, kan udah diajarin Papah. Ya kan, Pah?’

Novan turun dari pangkuan ayah dan lagi-lagi berlari menyambut sesosok lelaki yang ia panggil Papah, lelaki berkaca mata yang selalu menjadi partner in crimenya saat ‘berperang’. Lelaki itu muncul bersama ibu yang membawa sekeranjang bunga segar di tangan. Mereka berempat berjalan beriringan keluar rumah. Tepat sebelum pintu tertutup, ayah menatapku dengan lembut. Kali ini aku melihat seulas senyuman dari bibirnya.

Sekarang ruangan ini terasa sepi. Tak ada perabotan atau pernak-pernik selain kursi-kursi kosong dan meja kayu polos yang menemani. Baik ayah maupun ibu memang tak suka ruangan yang terlalu ramai. ‘Capek beresinnya,’ begitu alasan mereka. Hanya ada sebuah foto keluarga berukuran cukup besar yang tertempel di salah satu dindingnya. Foto terakhir saat kami sekeluarga dalam formasi lengkap.

Dari kejauhan, sayup-sayup kudengar doa yang mereka berikan. Semakin lama semakin jelas. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar