#30HariMenulis
-Ketiga-
-Ketiga-
Cuaca yang panas di luar tak dapat mencairkan suasana diantara kami. Minuman dingin di hadapanku seakan meronta minta dihabiskan, tapi aku sudah puas hanya dengan mencicipinya sedikit saja. Suasana seperti ini membawaku kembali ke masa lalu. Tempat yang sama, orang yang sama, kebekuan yang sama. Hanya pembicaraan kami saja yang berbeda, jika bisa dibilang begitu.
Siang itu, dua tahun yang lalu. Tiga puluh satu hari sebelum tanggal pernikahan kami, pria yang duduk di hadapanku berkata bahwa hatinya telah berubah, bahwa tak ada lagi cinta disana yang tersisa untukku, dan bahwa kami harus berhenti disini sebelum terlambat. Iya, kami. Tapi hati manusia mana yang tak pernah berubah? Bahkan batu yang keras pun bisa berubah wujud. Sungguh klasik.
Mungkin apa yang dikatakan olehnya memang benar. Tapi ah! Menyebalkan sekali. Kenapa dia tak mengatakannya lebih awal daripada menunggu sampai sedekat itu ke hari pernikahan? Dengan begitu waktuku takkan terbuang sia-sia dan waktunya takkan habis tersiksa. Dan lebih dari semua itu, aku harus memikirkan make up yang akan kupakai keesokan harinya untuk menutupi wajah bengkak dan mata sembabku karena menangis semalaman.
Dan sekarang, pria yang sama mengucapkan hal sebaliknya. Permohonan maaf, penyesalan, dan kerinduan menjadi tema pembicaraannya. Aku jadi ragu, benarkah cinta yang katanya telah mati itu sekarang hidup kembali? Atau jangan-jangan dia hanya tak bisa melupakan rasa bersalahnya. Hm… Pikiran jahatku kembali muncul dan mengatakan hal aneh, bahwa dia kembali hanya karena tak menemukan pengganti yang lebih baik dariku. Ah pria… Apa kalian memang selalu seenaknya begitu? Apapun itu, aku sudah tak terlalu peduli.
Seorang pria muda melambaikan tangannya dari seberang jalan, tangan yang satu lagi dipakai untuk mendekatkan ponsel ke telinganya. Aku mengangkat ponselku sambil menatapnya.
“Bentar lagi, ya.”
Dia mengangguk sambil tersenyum pertanda mengerti.
“Jangan lama-lama, Teh. Disini panas.”
Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.
Pria tampan yang memanggilku dengan sebutan ‘Teteh’ itu bukanlah adikku, bukan pula teman adikku ataupun adik kelasku dulu. Dia hanyalah pria yang usianya terpaut enam tahun denganku, pria yang dengan susah payah membuatku percaya padanya, dan pada diriku sendiri. Dia juga orang yang membuatku berani datang kesini dan menghadapi bagian masa laluku yang tak menyenangkan ini.
“Apa gara-gara dia?” Pria yang duduk di hadapanku mencoba menyimpulkan sendiri.
“Iya,”
“Dia seperti hadiah yang diberikan Tuhan, hadiah manis yang tak bisa kutolak. Tapi, bahkan walau dia tak pernah hadir dalam hidupku, kita tetap takkan bisa seperti dulu.”
“Apa kau masih belum bisa memaafkanku?”
“Memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Aku sudah memaafkanmu, tapi aku tak bisa kembali dengan ingatan buruk dalam hatiku, kan? Kenangan bukanlah jejak yang bisa kita hapus semau kita, bukan?”
Helaan napasnya yang berat terdengar jelas, seakan sedang mencerna semua informasi yang diterima dengan berat hati.
“Jadi sedalam itu ya, rasa sakitmu dulu?”
Sebuah pertanyaan yang tak perlu kujawab.
"Baiklah, aku mengerti." Lanjutnya sembari menurunkan kembali tangannya yang sejak tadi tergenggam erat di atas meja. Senyumnya yang jelas sekali dipaksakan menandakan pertemuan kami telah usai.
Sebuah pertanyaan yang tak perlu kujawab.
"Baiklah, aku mengerti." Lanjutnya sembari menurunkan kembali tangannya yang sejak tadi tergenggam erat di atas meja. Senyumnya yang jelas sekali dipaksakan menandakan pertemuan kami telah usai.
Aku memberinya senyum terakhir sebelum pamit. Kali ini aku benar-benar tulus, tak seperti kepergianku dua tahun lalu. Tak lupa kuberikan pula selembar kertas tebal dengan tinta perak bertuliskan namaku dan pria di seberang jendela itu. Pria yang menemaniku menyeberangi jembatan yang tak bisa kuseberangi dengannya. Pria yang masih menungguku di tempat yang sama walau dia bilang kepanasan. Pria yang sedang menyambut kedatanganku dengan senyuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar