Senin, 13 Juni 2016

MALAM

#30HariMenulis 
Hari ke-13

Bandung di malam hari bagaikan hamparan permata. Tak salah rasanya aku memilih tempat ini untuk ditinggali, karena walaupun cukup jauh dari pusat kota aku bisa puas memandanginya setiap hari. Di saat-saat tertentu aku akan minta ditemani ke tempat-tempat yang lebih kece lagi seperti ke bukit bintang atau duduk di sepanjang jalan menuju Punclut. Disana aku bisa berdiam diri sepuasnya, jauh dari keramaian. Sayangnya tempat-tempat seperti itu banyak dijadikan sebagai lokasi strategis untuk pacaran, bukan lagi sekedar mengagumi kecantikan sang malam. Benar-benar membuatku risih sendiri.

Malam ini suasana hatiku sedang sangat baik, jadi kuputuskan untuk sejenak memanjakan diri di atas atap, tempat terbaik untuk menatap langit dan hamparan lampu kota tanpa terhalang bingkai jendela, apalagi sambil mendengarkan lagu-lagu slow favorit. Rasa tak sabar membuatku langsung menuju kesana tanpa mampir dulu ke kamar. Toh barang bawaanku hanya tas tangan yang tak terlalu berat. Ditambah lagi anak-anak yang lain mungkin belum pulang juga, karena suasana di bawah terasa lebih sepi dari biasanya.

Sepuluh menit, dua puluh, satu jam. Sudah waktunya kembali. Rasanya semua lelah sudah hilang dibawa angin malam. Tapi, ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di kamarnya Ani?

“Niki…. Kamu dari mana aja sih, jam segini baru pulang?”

“Emang kenapa, Rik? Aku dari tadi di atas kok?”

“Hah? Sejak kapan? Kok aku nggak lihat kamu masuk? Aku telpon juga nggak kamu angkat.”

Apa maksudnya? Jelas-jelas semua kamar di lantai yang kutempati tertutup, sepi. Telepon? Telepon yang mana yang dimaksud oleh Rika? Aku mendengarkan musik dari ponselku dan tak sekalipun ada panggilan darinya. Perasaanku mulai tak enak.

“Kita bahas nanti aja. Ngomong-ngomong ini ada apa kok pada ngumpul disini?”

“Ani, Nik! Ani.”

Kuarahkan pandanganku pada sosok Ani. Wajah cantiknya kini pucat pasi. Tak ada lagi binar semangat di matanya, sementara mulutnya berguman tak jelas seperti orang yang sedang menangis. Sementara teman-teman yang lain sudah duduk mengelilinginya. Aku berbalik menatap Rika, minta penjelasan.

“Tadi sehabis isya Ani lihat sesuatu jalan ke arah atap. Dia syok terus kayak gini deh.”

Aku masih belum mudeng dengan apa yang dikatakan oleh Rika.

“Itu aku, barangkali?”

“Kamu pikir dia nggak bisa bedain yang mana orang yang mana bukan? Katanya sosok itu kayak kain putih yang kotor, dan jalannya melayang. Lagian kalau itu kamu, harusnya aku juga liat soalnya dari habis maghrib aku terus bareng sama dia.”

Pikiranku kosong. Apa yang dikatakannya terdengaar masuk akal, sebab pintu kamar Ani tepat menghadap tangga menuju atap. Jika semua yang kudengar itu benar, maka kejadiannya sesaat setelah aku pulang. Tapi, aku tak melihat atau mendengar apapun. Apa itu artinya dari tadi ada yang menemaniku disana? Hiiy, membayangkannya saja aku sudah merinding.

“Sekarang kita ngaji dulu aja, sambil nunggu Teh Hana yang lagi manggil Ustadz Ridho.”

Aku mengiyakan saja dan bergabung dengan yang lain.

Lima menit berlalu dan Teh Hana benar-benar datang bersama Ustadz Ridho, beliau konon katanya punya kemampuan lebih untuk melihat yang ‘begituan’. Tanpa perlu ba-bi-bu Pak ustadz langsung memulai doa dan melakukan ritual yang tak kumengerti. Setelah selesai, beliau menenangkan kami semua.

“Nggak apa-apa, yang tadi cuma numpang lewat aja. Sekarang sudah saya tangkap, nanti tinggal buang.”

Kami yang masih syok hanya mangut-mangut sambil berusaha mencerna apa yang beliau katakan. Pak Ustadz nampaknya mengerti bahwa kami belum puas dengan jawabannya. Beliau lalu memandang ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya tersenyum.

“Nggak apa-apa,”

Pak Ustadz ini, bilangnya nggak apa-apa tapi ekspresinya menunjukkan hal sebaliknya.

“Yang namanya makhluk seperti itu, dimana-mana juga ada. Apalagi di tempat seperti ini. Walaupun sekarang sudah ramai, tapi disini dulunya gunung, jadi memang banyak yang tinggal. Nggak mungkin kan saya pindahin satu-satu? Toh nanti juga mereka balik lagi.”

Tuh, kan.

“Yang penting kalian semua harus selalu ingat sama Sang Pencipta, jangan saling ganggu.”

Pak Ustadz lalu kembali menenangkan Ani dan memberinya beberapa wejangan. Dari yang kutangkap, sepertinya ini bukan kali pertama Ani melihat hal serupa, tapi yang sekarang mungkin wujudnya sangat jelas. 

Aku masih belum percaya bahwa tempat yang begitu nyaman ini ternyata banyak ‘penghuni’nya. Tunggu, kenapa aku jadi teringat suara aneh itu? Suara yang selalu kudengar tiap kali aku terbangun tengah malam. Rasanya seperti ada yang mengetuk dinding kamarku dari luar. Walaupun kadang penasaran, tapi aku tak pernah benar-benar memikirkannya. Sekarang jika dipikir-pikir lagi rasanya mustahil, sebab kamarku ada di lantai empat dan di sekelilingnya tak ada bangunan lain. Pun jika itu suara binatang, maka binatang apa? Tak ada beranda atau apapun yang bisa dijadikan pijakan. Jangan-jangan… Ah, nggak mungkin. Tapi....

“Jadi kamu baru sadar?”

Eh, siapa itu? Aku menoleh ke sekeliling, tapi tak ada siapapun di belakangku. Kutatap Rika yang memang sedari tadi duduk di sampingku.

“Kamu barusan ngomong sama aku?”

Rika hanya menatapku heran.


Sesaat kemudian aku langsung lemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar