#30HariMenulis
-Kedelapan-
Ternyata dia belum mati, dan sekarang dia menampakkan senyum
liciknya di hadapanku. Sial. Padahal sudah segala cara kulakukan untuk melenyapkannya.
Sekarang apa yang harus kulakukan? Rasanya aku ingin mengambil gunting di atas
meja dan menusuknya tepat di dada. Tapi seluruh tubuhku tak bisa diajak bekerja
sama, mereka terlalu lemah dan pegecut untuk melakukannya.
“Apa kabar, Jia? Sudah lama kita tak bertemu. Kau pasti
sangat merindukanku.”
Dia menyeringai licik. Kepuasan karena telah berhasil
menipuku selama ini tergambar jelas di wajahnya.
“Dasar pengecut! Selama ini kau bersembunyi dengan baik,
sampai-sampai aku berpikir bahwa kau benar-benar telah mati. Kenapa, kenapa kau
tidak menghilang saja selamanya?!”
“Ssssst. Tenanglah, sayangku... Kenapa kau mengatakan hal yang
kejam seperti itu? Dengar, apa kau sudah melupakan saat-saat kebersamaan kita dulu? Hei, jangan marah begitu. Kau tak boleh lupa pada semua jasa-jasaku, camkan itu!”
“Hah! Kau benar. Jika saja kau tak pernah muncul maka aku hidupku akan jauh
lebih bahagia!”
“Hahahaha. Kau bercanda, Jia sayang. Kau tahu jelas
kenyataannya tak seperti itu. Aku adalah penyelamatmu. Sudah cukup selama ini aku diam. Sekarang aku kembali untuk mengambil kembali hak-hakku.”
Tawanya terdengar sangat memuakkan. Matanya
mengerjap-ngerjap kesenangan. Dia memandangiku lekat-lekat dari atas ke bawah.
Uh, rasanya menjijikkan sekali.
Namanya Stefan, dia tiga tahun lebih tua dariku. Aku
mengenalnya sejak sembilan tahun yang lalu, tapi dia mengaku mengenalku jauh
sebelum itu. Sejak saat itu dia selau saja menggangguku. Dia bilang, dia merasa
kasihan dan ingin menjadi temanku. Awalnya aku takut dan tak terbiasa
dengan kehadirannya, tapi bagaimana mungkin aku menolak ajakannya ketika ‘teman’
menjadi kata yang sangat mahal bagiku? Dan sebagai seorang teman, dia selalu
datang membantu kapanpun aku merasa kesulitan. Untuk sesaat, aku sangat bersyukur
atas kehadirannya di sampingku.
Tapi bukannya semakin baik, hidupku malah semakin kacau. Aku senang karena tak ada lagi yang berani menyakitiku, tapi orang-orang
yang tadinya tak pernah menganggap keberadaanku mulai memandangku dengan aneh, dengan pandangan jijik dan ketakutan. Dan semua itu karena ulahnya!
Dia ternyata pembuat onar. Dia melawan siapapun yang tak
sependapat dengannya. Dia juga terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan
pada semua orang yang tak disukainya. Dia bahkan tak segan menyakiti siapapun
yang mencoba mengingatkannya. Dia yang awalnya bilang ingin jadi temanku, lama-kelamaan
mulai mengambil semua yang kumiliki, mulai dari mainan hingga kehidupanku.
Berulang kali kucoba untuk mengusirnya, tapi dia selalu mengatakan hal yang
sama, ‘Aku tak mau pergi. Aku takkan meninggalkanmu setelah semua yang
kulakukan untukmu’. Sekarang katakan padaku, apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku? Tak ada cara lain. Aku harus melenyapkannya. Kalian mungkin tidak tahu, berapa banyak waktu dan tenaga yang kukorbankan untuk melenyapkannya. Aku bahkan sempat hampir kehilangan nyawaku sendiri dalam waktu itu. Kupikir waktu itu aku telah berhasil. Aku bahkan menguburnya dengan tanganku sendiri. Tapi sekarang...
"Hei hei, apa yang sedang kau lamunkan?Apa kau sedang memikirkan cara untuk melenyapkanku lagi? Jangan bercanda! Dulu aku memang sengaja menghilang, tapi kau sendiri yang memanggilku."
"Tidak!"
"Sudah, kau tak perlu menyangkal lagi. Sekarang kau istirahatlah dengan tenang disini, aku ingin jalan-jalan dulu. Ah, satu lagi, jangan menungguku pulang. Sebab aku tak akan melakukannya. Kau tenang saja, aku akan hidup dengan damai sekarang, yah... walaupun tubuh ini sedikit membuatku tak nyaman. Tak apa, aku sudah terbiasa. Selamat tinggal, Jia."
Dia memandangi cermin di hadapannya dengan senyum kemenangan, sebelum akhirnya berbalik dan merayakan kebebasan. Sekuat tenaga kucoba untuk menghentikannya, tapi langkahku semakin lemas, dan pandanganku mulai kabur. Apa yang harus kulakukan? Sekarang semua gelap dan tanpa suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar