Minggu, 19 Juni 2016

Bukan Tukang Masak (Part 8): Ayam Krispi

#30HariMenulis

Tak terasa sudah hari ke-19. Semangat menulis juga sudah mulai susah dijaga. Tapi berhubung hari ini temanya bebas dan kebetulan juga saya lagi bahagia, maka saya putuskan untuk berbagi kebahagiaan dalam bentuk resep. Ditambah bumbu curhat tentunya.


Benar kata orang, bahagia itu sederhana, cukup dengan sepiring ayam goreng. Bukan sembarang ayam goreng, karena sudah sekian lama sejak saya bermimpi untuk bisa membuat ayam krispi sendiri. Dan, taraaaa... setelah melalui banyak kegagalan dan hanya berkutat dengan tempe krispi, sosis mie krispi, tahu krispi, skripsi krispi #eh, akhirnya hari ini saya punya kesempatan untuk mewujudkannya, ayam krispi yang saya beri nama 'Mingyu n Me Cikin (치긴)', bukan chicken yah.

Kenapa namanya aneh begitu? Jadi ceritanya beberapa waktu terakhir ini saya sedang tergila-gila dengan boyband Seventeen. Nah, ada salah satu program dimana mereka harus bertahan hidup di sebuah pulau. Mancing sendiri, nyari sayuran sendiri, masak sendiri, dan semua serba manual. Di salah satu episode, mereka diberi ayam mentah sebagai hadiah kejutan. Benar-benar kejutan karena yang ada dalam bayangan mereka adalah ayam krispi siap saji yang tinggal makan. Tapi berkat tangan serba bisanya Kim Mingyu (rapper yang merangkap koki, merangkap tukang) mereka berhasil menyulapnya menjadi ayam krispi yang rasanya nggak kalah dari yang dijual di restoran. Jadilah saya sedikit nyontek tips dari dia, walaupun dalam prosesnya sama sekali nggak mirip.

Bahan-bahan:

  1. 1/4 kg ayam, potong menjadi beberapa bagian.
  2. 8 sdm tepung terigu, bisa disesuaikan.
  3. Garam secukupnya
  4. Penyedap rasa ayam
  5. Merica bubuk
  6. Ketumbar bubuk
  7. Air
  8. Minyak goreng
Cara membuat:
  1. Rebus ayam hingga matang, tambahkan garam dan penyedap rasa, tiriskan.
  2. Campur tepung terigu, sedikit garam dan penyedap rasa, merica, dan ketumbar. Aduk rata.
  3. Masukkan air sedikit demi sedikit ke dalam campuran terigu dengan perbandingan 1:1. Jika terasa terlalu kental, bisa tambahkan sedikit tepung terigu.
  4. Masukkan ayam ke dalam adonan, remas-remas hingga ayam terbalut  sempurna. Pastikan balutan tepungnya agak tebal dan terlihat 'keriting'.
  5. Panaskan minyak goreng, lalu goreng ayam hingga berwarna keemasan. Angkat dan sajikan selagi hangat.
Nah, untuk hari ini hanya itu yang bisa saya tulis. Jika di kemudian hari saya menemukan resep yang lebih te o pe, dengan senang hati saya akan apdet disini.

Sabtu, 18 Juni 2016

Sembilan Belas Tiga Puluh

belum ada satu momen bersejarah yang pantas untuk diceritakan. Tapi untuk menulis kembali salah satu peristiwa bersejarah di Indonesia atau bahkan dunia rasanya juga saya bukan ahlinya. Tapi ada satu masa dimana saya ingin mencoba merasakan hidup di zaman tersebut, yaitu tahun 1930-an.
Memang saya rasa itu bukan tahun terbaik jika kita ingin ber-time travelling kesana. Masa itu Indonesia masih berada dalam pendudukan kolonial Belanda. Banyak pejuang kita yang diasingkan dan dibatasi pergerakannya, misalnya saja sang proklamator, Bung Karno. Pun kondisi dunia secara umum tak begitu baik karena saat itu dunia dilanda krisis dan juga merupakan masa awal terjadinya perang dunia kedua. Di sisi lain, Jepang juga telah memulai pergerakannya untuk menguasai Asia.
Tapi pada periode tersebut, Indonesia memiliki sastrawan-sastrawan terbaik yang kita kenal sebagai angkatan Pujangga Baru. Beberapa nama yang tak asing seperti Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane mengeluarkan karya-karya terbaiknya.
Selain itu, saya juga merasa tertarik dengan fashion pada masa tersebut. Dimana para pria masih banyak yang mengenakan jas dipadukan dengan sarung, wanita dengan kebaya atau baju terusan selututnya. Anggun sekali. Tidak semua orang dapat mengenakannya memang, tapi tetap saja menarik.

Kamis, 16 Juni 2016

Menunggu

#30HariMenulis
-enambelas-

“Sudah tiga jam.”
“Sabarlah.“
“Salahku. Ini salahku. Kalau aja….”
“Jangan berandai-andai. “
“Dia pasti kesepian.”
“Dia tahu kita ada disisinya.”
“Dia pasti kesakitan.”
“Dia sedang berjuang.”
“Kalau saja aku tahu dari awal…”
“Siapa yang menyangka hal seperti ini bisa terjadi padanya?”
“Tapi aku harusnya lebih peka! Kasihan dia, selama ini menderita. Sementara aku?”
“Bisa diem nggak sih? Kalau kamu ngoceh nggak jelas terus mending pulang sana! Kamu sama sekali nggak bantu dia. Kamu pikir dia bakal seneng denger semua yang kamu bilang barusan? Nggak! Dia nggak butuh semua itu.”
Untuk sesaat, keduanya terdiam.
“Berdoa. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang untuknya.”
“Maaf. Kamu bener. Harusnya aku nggak kayak gini. Maafin Mama, Nak.”
“Aku mengerti. Aku juga sama sakitnya sepertimu. Tapi kalau kita nggak kuat, gimana Daffa bisa kuat lewatin ini semua?”
“Papa benar.”
Pintu di hadapan mereka terbuka, seorang pria paruh baya muncul dengan wajah kelelahan.

“Alhamdulillah,”

Rabu, 15 Juni 2016

Renungan Malam

Dimana rasa malu kita,
Ketika lisan ini begitu cepatnya mengumbar kebencian?
Dimana rasa malu kita,
Ketika ucapan hanya berisi kumpulan aib orang?
Dimana rasa malu kita,
Ketika tangan ini menunjuk wajah yang bahkan tak pernah kita temui?
Sedang apa kita,
Lupa akan budi hanya demi sebuah eksistensi?
Yang tua tak lagi dapat hormat,
Yang muda katanya haus perhatian.
Mau menolong takut salah sasaran,
Tak ditolong dia kesusahan.
Dibiarkan, menderita.
Dibantu, tertipu.
Sedang apa kita,
Takut menunjukkan jati diri.
Berbeda salah, sama pun mustahil.
Sedang apa kita,
Ribut mengurusi rumah orang lain,
Rumah sendiri ditelantarkan.
Siapa kita,
Yang sibuk sendiri di persinggahan,
Lupa pada tujuan.

#30HariMenulis
-Limabelas-

Selasa, 14 Juni 2016

Hitam-Biru

#30HariMenulis
-empatbelas-

Lautan hitam-biru terbentang di depan mata. Menakjubkan. Tapi bukan yang banyak itu yang membuat bibir ini tak berhenti tersenyum sepanjang hari. Disana, puluhan, tidak, ratusan meter di bawah sana, ada sosok-sosok dengan warna yang sama berlarian mengejar si bundar yang seakan tak kenal berhenti. 
  
Tak ada hari bahagia tanpa cerita. Ada satu hari bahagia yang masih terekam dalam memori saya. Satu hari yang kisahnya dimulai bertahun-tahun sebelumnya, ketika saya menonton pertandingan bola di salah satu stasiun TV swasta. Siapa yang mengira saat itu ada yang membuat saya jatuh cinta. Bukan pada satu, tapi dua hal sekaligus. Cinta pertama, dan cinta pada pandangan pertama (banyak banget ya cinta pertama saya? Sudahlah). Dan, hari itu akhirnya datang juga. Penantian saya nggak sia-sia. Inter datang ke Indonesia!

Heol! Saya masih bisa tahan melewatkan konser Beast yang diselenggarakan dua bulan sebelumnya. Tapi sekarang nggak lagi. Saya harus bisa nonton langsung. Mimpi Giuseppe Meazza mungkin masih terlalu jauh, tapi SGBK hanya di Jakarta. Hanya Jakarta. Terbayang Om Zannetti manggil-manggil saya dengan senyum khasnya. Akhirnya setelah melewati kegalauan dan dengan berbagai pertimbangan, rasa cinta sayalah yang menang. 
Semakin siang, suasana makin mencair. Panas terik matahari tak pernah jadi masalah. Sambil menunggu petang, kami menelusuri jejak sejarah klub yang berdiri tahun 1908. Tiket cantik di tangan terasa bagaikan permata. Muka yang nggak kobe karena terpapar panas seharian nggak lagi saya pedulikan. Begitu Om Zannetti dan kawan-kawannya memasuki lapangan, rasanya… deg degan? Takjub? Saya hanya, bahagia.

Satu stadion bersorak untuk tim yang sama, keduanya. Tak ada lawan, semua kawan. Keren, tapi agak ngeri, sih, sama kelakuan ‘aneh’ temen-temen supporter yang lain. Barangkali itu memang bumbunya, saya nggak ngerti. Saya hanya bisa nonton sambil berdoa semoga bisa selamat sampai pulang nanti. 

Hanya satu hal yang kurang hari itu. Satu-satunya orang yang membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang membuat gol pada menit pertama dia memasuki lapangan. Gol pertama untuk timnya setelah cukup lama bermain dengan skor kacamata. Julio Ricardo Cruz. Dia memang tak lagi disana, tapi dia tetap di hati saya. ^^

Senin, 13 Juni 2016

MALAM

#30HariMenulis 
Hari ke-13

Bandung di malam hari bagaikan hamparan permata. Tak salah rasanya aku memilih tempat ini untuk ditinggali, karena walaupun cukup jauh dari pusat kota aku bisa puas memandanginya setiap hari. Di saat-saat tertentu aku akan minta ditemani ke tempat-tempat yang lebih kece lagi seperti ke bukit bintang atau duduk di sepanjang jalan menuju Punclut. Disana aku bisa berdiam diri sepuasnya, jauh dari keramaian. Sayangnya tempat-tempat seperti itu banyak dijadikan sebagai lokasi strategis untuk pacaran, bukan lagi sekedar mengagumi kecantikan sang malam. Benar-benar membuatku risih sendiri.

Malam ini suasana hatiku sedang sangat baik, jadi kuputuskan untuk sejenak memanjakan diri di atas atap, tempat terbaik untuk menatap langit dan hamparan lampu kota tanpa terhalang bingkai jendela, apalagi sambil mendengarkan lagu-lagu slow favorit. Rasa tak sabar membuatku langsung menuju kesana tanpa mampir dulu ke kamar. Toh barang bawaanku hanya tas tangan yang tak terlalu berat. Ditambah lagi anak-anak yang lain mungkin belum pulang juga, karena suasana di bawah terasa lebih sepi dari biasanya.

Sepuluh menit, dua puluh, satu jam. Sudah waktunya kembali. Rasanya semua lelah sudah hilang dibawa angin malam. Tapi, ada apa ini? Kenapa semua orang berkumpul di kamarnya Ani?

“Niki…. Kamu dari mana aja sih, jam segini baru pulang?”

“Emang kenapa, Rik? Aku dari tadi di atas kok?”

“Hah? Sejak kapan? Kok aku nggak lihat kamu masuk? Aku telpon juga nggak kamu angkat.”

Apa maksudnya? Jelas-jelas semua kamar di lantai yang kutempati tertutup, sepi. Telepon? Telepon yang mana yang dimaksud oleh Rika? Aku mendengarkan musik dari ponselku dan tak sekalipun ada panggilan darinya. Perasaanku mulai tak enak.

“Kita bahas nanti aja. Ngomong-ngomong ini ada apa kok pada ngumpul disini?”

“Ani, Nik! Ani.”

Kuarahkan pandanganku pada sosok Ani. Wajah cantiknya kini pucat pasi. Tak ada lagi binar semangat di matanya, sementara mulutnya berguman tak jelas seperti orang yang sedang menangis. Sementara teman-teman yang lain sudah duduk mengelilinginya. Aku berbalik menatap Rika, minta penjelasan.

“Tadi sehabis isya Ani lihat sesuatu jalan ke arah atap. Dia syok terus kayak gini deh.”

Aku masih belum mudeng dengan apa yang dikatakan oleh Rika.

“Itu aku, barangkali?”

“Kamu pikir dia nggak bisa bedain yang mana orang yang mana bukan? Katanya sosok itu kayak kain putih yang kotor, dan jalannya melayang. Lagian kalau itu kamu, harusnya aku juga liat soalnya dari habis maghrib aku terus bareng sama dia.”

Pikiranku kosong. Apa yang dikatakannya terdengaar masuk akal, sebab pintu kamar Ani tepat menghadap tangga menuju atap. Jika semua yang kudengar itu benar, maka kejadiannya sesaat setelah aku pulang. Tapi, aku tak melihat atau mendengar apapun. Apa itu artinya dari tadi ada yang menemaniku disana? Hiiy, membayangkannya saja aku sudah merinding.

“Sekarang kita ngaji dulu aja, sambil nunggu Teh Hana yang lagi manggil Ustadz Ridho.”

Aku mengiyakan saja dan bergabung dengan yang lain.

Lima menit berlalu dan Teh Hana benar-benar datang bersama Ustadz Ridho, beliau konon katanya punya kemampuan lebih untuk melihat yang ‘begituan’. Tanpa perlu ba-bi-bu Pak ustadz langsung memulai doa dan melakukan ritual yang tak kumengerti. Setelah selesai, beliau menenangkan kami semua.

“Nggak apa-apa, yang tadi cuma numpang lewat aja. Sekarang sudah saya tangkap, nanti tinggal buang.”

Kami yang masih syok hanya mangut-mangut sambil berusaha mencerna apa yang beliau katakan. Pak Ustadz nampaknya mengerti bahwa kami belum puas dengan jawabannya. Beliau lalu memandang ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya tersenyum.

“Nggak apa-apa,”

Pak Ustadz ini, bilangnya nggak apa-apa tapi ekspresinya menunjukkan hal sebaliknya.

“Yang namanya makhluk seperti itu, dimana-mana juga ada. Apalagi di tempat seperti ini. Walaupun sekarang sudah ramai, tapi disini dulunya gunung, jadi memang banyak yang tinggal. Nggak mungkin kan saya pindahin satu-satu? Toh nanti juga mereka balik lagi.”

Tuh, kan.

“Yang penting kalian semua harus selalu ingat sama Sang Pencipta, jangan saling ganggu.”

Pak Ustadz lalu kembali menenangkan Ani dan memberinya beberapa wejangan. Dari yang kutangkap, sepertinya ini bukan kali pertama Ani melihat hal serupa, tapi yang sekarang mungkin wujudnya sangat jelas. 

Aku masih belum percaya bahwa tempat yang begitu nyaman ini ternyata banyak ‘penghuni’nya. Tunggu, kenapa aku jadi teringat suara aneh itu? Suara yang selalu kudengar tiap kali aku terbangun tengah malam. Rasanya seperti ada yang mengetuk dinding kamarku dari luar. Walaupun kadang penasaran, tapi aku tak pernah benar-benar memikirkannya. Sekarang jika dipikir-pikir lagi rasanya mustahil, sebab kamarku ada di lantai empat dan di sekelilingnya tak ada bangunan lain. Pun jika itu suara binatang, maka binatang apa? Tak ada beranda atau apapun yang bisa dijadikan pijakan. Jangan-jangan… Ah, nggak mungkin. Tapi....

“Jadi kamu baru sadar?”

Eh, siapa itu? Aku menoleh ke sekeliling, tapi tak ada siapapun di belakangku. Kutatap Rika yang memang sedari tadi duduk di sampingku.

“Kamu barusan ngomong sama aku?”

Rika hanya menatapku heran.


Sesaat kemudian aku langsung lemas.

Minggu, 12 Juni 2016

Bittersweet

#30HariMenulis Hari ke-12

Seventeeeeennn……. Yup!
Hal mari manheundae…
Jeongriga jal andwae
Dowajwo S.O.S
(1, 2, 3, 4)
#nyanyi

Sebelumnya mohon maaf apabila isinya curhat semua. Sengaja.

Hari ini temanya usia terbaik ya? Mh... Sebenernya saya nggak pernah mikirin kapan usia terbaik yang pernah saya lewati. Setiap masa punya cerita, kan? Tapi untuk tema hari ini saya putuskan seventeen aja. Bukan karena saya sedang tergila-gila sama boyband Seventeen yang anggotanya udah kayak anak sendiri ya. Mau gimana lagi, momennya pas. Kita nggak bisa melawan takdir, kan? #apasih

Seventeen. Orang bilang usia tujuh belas itu manis, tapi buat saya rasanya manis asem asin pahit pedes dan kadang hambar. Di usia tujuh belas, saya pertama kali punya KTP (semua WNI juga sama kali). Bermodal KTP baru dan ijazah yang masih segar, mimpi yang sempat saya ucapkan waktu kelas satu esde terkabul juga. Hijrah dan belajar di kota itu, dan memulai semuanya dari awal sendiri. Bepergian jauh sendiri, ngurus semuanya sendiri, hidup sendiri, tapi juga nggak benar-benar sendiri. It was so much fun back then. Di usia tujuh belas, saya jatuh cinta pada banyak hal, pada banyak orang. Bukan cinta pertama, tapi tetap saja cinta. Saya pindah aliran dari Mandarin ke Korea, dari Vic Zhou ke Kim Heechul, dari putih abu ke warna warni. 

Meskipun begitu, hidup nggak lengkap tanpa cerita pahitnya. Sejak awal, saya adalah orang yang paling menghindari koflik, sebisa mungkin ada di titik netral. Mau kesel, sedih, selama orang lain nggak punya masalah sama saya, maka it’s okay lah, aman. Tahan, Di. Tahan. Cuek aja, pura-pura ga ada masalah aja. Maunya sih gitu.  Padahal mah saya kayak gitu juga nggak jadi bahagia-bahagia amat. Berasa fake banget ga sih hidup gue? #tsah. Dan... Jreng jreng!!! Di usia tujuh belas, saya akhirnya merasakan gesekan-gesekan yang selalu saya coba hindari. Mulai dari sahabat yang tiba-tiba berubah sikap gara-gara dia merasa saya kurang terbuka (yang ini saya gak kurang yakin sih, ingatan saya agak terganggu #eh), sampai masalah politik yang memecah belah otak saya. Di usia tujuh belas, saya yang biasa jalan kaki dalam jarak yang normal harus naik level jadi dalan kaki bolak-balik nanjak-mudun tinggi, tinggi sekali. Melelahkan, tapi bayarannya setimpal. Saya lebih dekat ke langit dan mungkin karena itu jugalah berat badan saya selalu stabil. Dulu.

Angka tujuh belas. Dia memang sudah terlewat, tapi masih tetap hidup di suatu tempat dalam jiwa, dalam pikiran. Sesekali dia menampakkan diri, walau masanya takkan lagi kembali.

Untuk yang masih muda, merasa muda, dan rindu masa muda. Neo Yeppeuda! You're so pretty!




Sabtu, 11 Juni 2016

Mustahil

#30HariMenulis

-Kesepuluh di sebelas-

“Dilihat dari alibi setiap orang dan tidak adanya bukti yang jelas, ini pasti dilakukan oleh orang luar. Mustahil salah satu dari kita yang melakukannya. Ahahahaha….”

Seperti biasa, Detektif Mouri selalu mengemukakan hipotesisnya dengan singkat, padat, dan tidak jelas. Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa menjadi seterkenal sekarang. Benar-benar tidak masuk akal.

“Mustahil? Dari mana kau bisa menympulkan dengan semudah itu? Kurasa kita harus membuktikan terlebih dahulu alibi setiap orang, baru setelah itu kau bisa menyimpulkan sesuatu. Bisa saja kan ada yang bohong.”

Aku masih belum bisa terima tuduhan Profesor Moriarty tadi.


Empat puluh lima menit sebelumnya.

“Nooooooo! Kerjaan siapa ini?????”

Jeritan pilu Profesor Moriaty terdengar ke setiap sudut ruangan, membangunkan semua penghuni rumah X yang baru bisa tidur lepas tengah malam.

“Ada apa sih, Prof? Haduh... masih ngantuk, nih. Acara penutupan kan masih lama.”

Detektif Mouri langsung protes, padahal dia yang paling tidak berkepentingan disini. Kalau saja bukan karena Profesor Agasa berhalangan hadir, aku tak perlu bertemu dan mendengarkan ocehannya sepanjang malam. Aku masi bingung kenapa Profesor Agasa mengirimkan orang ini sebagai wakilnya ke pertemuan ini, padahal sudah jelas bahwa ini adalah pertemuan terbatas untuk ilmuwan dan professor terkenal dari semua bidang.Profesor Moriarty, walaupun dia cukup berpengaruh di dunia kejahatan, tapi dia jauh lebih terkenal sebagai Matematikawan jenius. Profesor Agasa yang berhalangan diundang karena penemuan-penemuan anehnya yang terkesan tak berguna tapi memiliki nilai yang sangat tinggi. Lalu ada juga beberapa profesor lainnya selain aku dan Ishigami, sahabatku sejak kuliah. Tunggu, ngomong-ngomong kemana Ishigami ya? Kenapa dia belum juga terlihat?

“Aku disini,”

Orang yang kucari tiba-tiba saja muncul di sampingku. Sejak kapan dia disana, dan bagaimana dia bisa mengerti apa yang kupikirkan?

“Kau jelas sekali sedang mencari seseorang, dan jika dilihat dari jumlah peserta, hanya aku yang orang yang baru masuk. Aku tadi ke belakang dulu, perutku sakit dari semalam.”

Penjelasan yang masuk akal. Ah, aku sampai lupa. Kenapa pagi buta begini Prof Moriarty sudah membuat keributan.

“Pie Apelku. Siapa yang berani memakan Pie Apelku satu-satunya? Aku sengaja menyimpannya sejak semalam agar bisa dijadikan sarapan. Tapi lihat ini, tempatnya kosong sementara aku masih belum makan apapun!”

Apa? Kami semua memandangnya dengan takjub. Seorang Moriarty membangunkan kami semua hanya karena sebuah Pie Apel?! Orang ini memang sudah gila.

“Prof, Anda terlalu berlebihan. Aku pikir ada yang terbunuh. Ternyata…”

Kali ini aku harus setuju dengan Mouri.

“Itu bukan Pie biasa! Aku membuatnya setelah melakukan penelitian selama tujuh belas hari. Dan pagi ini, berdasarkan perhitunganku pagi ini adalah waktu terbaik untuk memakannya.”

“Baiklah, aku mengerti. Lalu apa ada yang Anda curigai?”

“Kalian semua. Aku curiga pada kalian semua. Mata kalian saat aku menunjukkan Pie-ku semalam terlihat sangat berbinar seakan ingin melahapnya saat itu juga. Mengakulah!”

“Tunggu, Prof. Itu kan karena Anda memamerkannya tepat sebelum makan malam disajikan. Jadi wajar saja, soalnya kami semua sedang kelaparan.”

Aku tak terima kami dituduh tanpa alasan jelas seperti ini.

“Pokoknya akan kutemukan pelakunya dengan segala cara. Lihat saja apa yang akan kulakukan padanya.”

Sekilas kulihat ada yang berubah pada raut wajah shigami. Tapi aku tak yakin apa itu. Dia hanya seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah.... Ah, apa yang kupikirkan. Tidak mungkin, Ishigami bukan orang seperti itu.

Profesor Moriarty dibantu oleh Mouri selanjutnya melakukan interogasi dadakan pada kami semua. Tapi keterangan apa yang bisa kami berikan, sementara yang kami lakukan selepas acara semalam hanya tidur karena saking lelahnya?  

“Diliihat dari alibi setiap orang dan tidak adanya bukti yang jelas, ini pasti dilakukan oleh orang luar. Mustahil salah satu dari kita yang melakukannya. Ahahahaha….”

Seperti biasa, Detektif Mouri selalu mengemukakan hipotesisnya dengan singkat, padat, dan tidak jelas. Aku heran, bagaimana orang seperti dia bisa menjadi seterkenal sekarang. Benar-benar tidak masuk akal.

“Mustahil? Dari mana kau bisa menympulkan dengan semudah itu? Kurasa kita harus membuktikan terlebih dahulu alibi setiap orang, baru setelah itu kau bisa menyimpulkan sesuatu. Bisa saja kan ada yang bohong.”

Aku masih belum bisa terima tuduhan Profesor Moriarty tadi.

“Saya setuju dengan Prof. Yukawa.”

Sebuah suara yang dari tadi hampir tak terdengar muncul dari balik pintu. Lee Hyeon. Dia adalah seorang kriminolog terkenal yang sudah menjadi profesor di usia yang masih muda. Dia muncul dengan sebuah tablet di tangannya.

"Saya telah melakukan penyelidikan di sekeliling rumah dan tak menemukan ada tanda-tanda keberadaan orang luar sepanjang malam. Sebaliknya, saya menemukan sesuatu yang menarik dari hasil rekaman cctv di ruang tengah."

"Pak Ishigami, bisa Anda jelaskan apa yang Anda lakukan semalam di ruang tengah? Atau lebih tepatnya apa yang Anda lihat dari ruang tengah?" 

Lee Hyeon menunjukkan pada kami semua rekaman yang berisi gambar Ishigami bertingkah aneh setelah semua orang tertidur. Wah, dia orang yang menarik. Sangat cepat dan to the point. Kenapa Mouri yang detektif tak memikirkan hal ini dari tadi, sih? Buang-buang waktu saja. Tapi Ishigami, aku tak yakin dia yang melakukan semuanya. Tak mungkin.

"Hei, Ishigami. Jadi kamu pelakunya? Berani-beraninya kamu ya!"

"Ishigami, bukan kamu kan pelakunya? Katakan pada kami semua apa yang kamu lihat? Siapa yang sudah menghabiskan Pie apelnya Prof. Moriarty?"

Ishigami diam seribu bahasa, tapi melihat ekspresi mengerikkan Prof Moriarty, akhirnya pertahanannya runtuh juga.

"Maafkan aku, Yukawa."

Apa? Mustahil.

Ishigami menoleh perlahan padaku.

"Kamu ngelindur lagi semalam, dan saat aku bangun kamu sudah menghabiskan semuanya. Aku bisa apa?"

Semua pandangan tertuju padaku. 





Kamis, 09 Juni 2016

DELUSI

#30HariMenulis

-Kesembilan-

Karang, apa kabar?
Empat ribu satu hari telah kulewati tanpamu.
Bukan karena waktu, tapi aku.
Aku terlalu asik bermain sendiri dan melupakanmu.
Saking asiknya hingga aku tak pernah merindukanmu kecuali sesekali,
ketika senja datang atau saat angin membisikkan namamu.
Aku memang setega itu.
Tapi apa yang kau lakukan?
Kau masih saja diam disini seperti terakhir kali kita bertemu,
Ketika aku bercerita dalam bisu
sementara kau hanya duduk memetik gitar dan memainkan lagu.
Deru ombak menjadi pengiring setiamu.
Kita seperti itu sepanjang waktu, dulu.
Seakan dunia hanya selebar jarak antara kau dan aku.
Karang, hari ini tanpa sadar aku berdiri disini.
Tak lagi duduk di sampingmu, hanya berdiri,
dengan kaki telanjang dan bibir tanpa suara.
Sebab aku tahu, kau masih akan mengerti bahasa diamku.
Karang, biarkan aku sejenak lebih lama memandangmu.
Karena aku sedang merindukanmu.

Rabu, 08 Juni 2016

PELARIAN

#30HariMenulis

-Kedelapan-

Ternyata dia belum mati, dan sekarang dia menampakkan senyum liciknya di hadapanku. Sial. Padahal sudah segala cara kulakukan untuk melenyapkannya. Sekarang apa yang harus kulakukan? Rasanya aku ingin mengambil gunting di atas meja dan menusuknya tepat di dada. Tapi seluruh tubuhku tak bisa diajak bekerja sama, mereka terlalu lemah dan pegecut untuk melakukannya.

“Apa kabar, Jia? Sudah lama kita tak bertemu. Kau pasti sangat merindukanku.”

Dia menyeringai licik. Kepuasan karena telah berhasil menipuku selama ini tergambar jelas di wajahnya.

“Dasar pengecut! Selama ini kau bersembunyi dengan baik, sampai-sampai aku berpikir bahwa kau benar-benar telah mati. Kenapa, kenapa kau tidak menghilang saja selamanya?!”

“Ssssst. Tenanglah, sayangku... Kenapa kau mengatakan hal yang kejam seperti itu? Dengar, apa kau sudah melupakan saat-saat kebersamaan kita dulu? Hei, jangan marah begitu. Kau tak boleh lupa pada semua jasa-jasaku, camkan itu!”

“Hah! Kau benar. Jika saja kau tak pernah muncul maka aku hidupku akan jauh lebih bahagia!”

“Hahahaha. Kau bercanda, Jia sayang. Kau tahu jelas kenyataannya tak seperti itu. Aku adalah penyelamatmu. Sudah cukup selama ini aku diam. Sekarang aku kembali untuk mengambil kembali hak-hakku.”

Tawanya terdengar sangat memuakkan. Matanya mengerjap-ngerjap kesenangan. Dia memandangiku lekat-lekat dari atas ke bawah. Uh, rasanya menjijikkan sekali.

Namanya Stefan, dia tiga tahun lebih tua dariku. Aku mengenalnya sejak sembilan tahun yang lalu, tapi dia mengaku mengenalku jauh sebelum itu. Sejak saat itu dia selau saja menggangguku. Dia bilang, dia merasa kasihan dan ingin menjadi temanku. Awalnya aku takut dan tak terbiasa dengan kehadirannya, tapi bagaimana mungkin aku menolak ajakannya ketika ‘teman’ menjadi kata yang sangat mahal bagiku? Dan sebagai seorang teman, dia selalu datang membantu kapanpun aku merasa kesulitan. Untuk sesaat, aku sangat bersyukur atas kehadirannya di sampingku.

Tapi bukannya semakin baik, hidupku malah semakin kacau. Aku senang karena tak ada lagi yang berani menyakitiku, tapi  orang-orang yang tadinya tak pernah menganggap keberadaanku mulai memandangku dengan aneh, dengan pandangan jijik dan ketakutan. Dan semua itu karena ulahnya!

Dia ternyata pembuat onar. Dia melawan siapapun yang tak sependapat dengannya. Dia juga terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan pada semua orang yang tak disukainya. Dia bahkan tak segan menyakiti siapapun yang mencoba mengingatkannya. Dia yang awalnya bilang ingin jadi temanku, lama-kelamaan mulai mengambil semua yang kumiliki, mulai dari mainan hingga kehidupanku. Berulang kali kucoba untuk mengusirnya, tapi dia selalu mengatakan hal yang sama, ‘Aku tak mau pergi. Aku takkan meninggalkanmu setelah semua yang kulakukan untukmu’. Sekarang katakan padaku, apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku? Tak ada cara lain. Aku harus melenyapkannya. Kalian mungkin tidak tahu, berapa banyak waktu dan tenaga yang kukorbankan untuk melenyapkannya. Aku bahkan sempat hampir kehilangan nyawaku sendiri dalam waktu itu. Kupikir waktu itu aku telah berhasil. Aku bahkan menguburnya dengan tanganku sendiri. Tapi sekarang...

"Hei hei, apa yang sedang kau lamunkan?Apa kau sedang memikirkan cara untuk melenyapkanku lagi? Jangan bercanda! Dulu aku memang sengaja menghilang, tapi kau sendiri yang memanggilku."

"Tidak!"

"Sudah, kau tak perlu menyangkal lagi. Sekarang kau istirahatlah dengan tenang disini, aku ingin jalan-jalan dulu. Ah, satu lagi, jangan menungguku pulang. Sebab aku tak akan melakukannya. Kau tenang saja, aku akan hidup dengan damai sekarang, yah... walaupun tubuh ini sedikit membuatku tak nyaman. Tak apa, aku sudah terbiasa. Selamat tinggal, Jia."

Dia memandangi cermin di hadapannya dengan senyum kemenangan, sebelum akhirnya berbalik dan merayakan kebebasan. Sekuat tenaga kucoba untuk menghentikannya, tapi langkahku semakin lemas, dan pandanganku mulai kabur. Apa yang harus kulakukan? Sekarang semua gelap dan tanpa suara.


Selasa, 07 Juni 2016

RINDU

#30HariMenulis

-Ketujuh-

Angin menyeruak masuk lewat pintu yang terbuka lebar, membawa bau tanah yang basah sejak semalam. Sesosok lelaki paruh baya berdiri di beranda. Punggungnya yang dulu tegap kini tampak sedikit membungkuk. Lagi-lagi ayah keluar di cuaca sedingin ini.

‘Ayah, masuklah. Jika ayah sakit, nanti semua orang yang repot. Kasihanilah sedikit tubuh rentamu.’

‘Apa kau juga kedinginan, Nak? Akhir-akhir ini hujan seringkali datang. Lihatlah, bunga kesayanganmu itu, basah kuyup semua.’

‘Tak apa, Ayah. Biarkan saja, biar mereka bersih dari debu jalanan. Bukankah hujan membuat mereka semakin cantik?’

Ayah membisu, raut wajahnya mengeras tanda ada mengganggu pikirannya.

Bau Ramadhan sudah mulai tercium sedari kemarin, bau hangat yang menyenangkan yang sulit untuk dijelaskan. Sejak pagi, orang ramai lalu lalang di depan rumah, beberapa diantaranya adalah para tetangga yang membawa banyak belanjaan, persiapan menyambut sahur pertama. Maklum rumah kami berada dekat pasar tradisional yang cukup besar. Biasanya, aku dan ibu berbelanja di hari kedua sebelum ramadhan agar pasar belum terlalu penuh. Hal pertama yang kami cari adalah labu kuning, karena ayah dan abang pasti minta dibuatkan kolaknya untuk buka hari pertama. Tapi beberapa tahun terakhir ini kami sudah jarang melakukannya karena aku harus pindah mengikuti laki-laki yang telah menjadi suamiku, sedangkan abang tinggal di luar kota dan hanya pulang sesekali.

‘Aki……’ Seorang anak lelaki berbaju koko putih berlari menghampiri ayah. Usianya belum genap lima tahun.

Aku tersenyum menatap tingkahnya yang langsung bergelayut manja pada ayah. Rasanya sudah lama sejak terakhir kami main bersama. Seperti kebanyakan anak lelaki pada umumnya dia paling senang main perang-perangan, dan selalu serius setiap kali melakukan ‘serangan’ terhadapku. Tapi tawanya yang renyah selalu membuatku luluh dan menyerah kalah. Ayah dan ibu pun teramat memanjakannya, bahkan mungkin  melebihi perlakuan mereka padaku dan abang sewaktu kami masih kecil dulu.

‘Aki, ayo katanya kita mau nengok mamah… Papah sama nenek udah siap-siap tuh. Ayo Ki, cepet.’

Dia merengek sambil menarik pelan kakeknya hingga ke dalam rumah. Anak ini tak pernah berubah.

‘Kamu ini, memang paling nggak bisa sabar. Kasihan kan Aki kalo ditarik-tarik begitu.’ Aku mencoba mengingatkannya, tapi tampaknya tak berhasil.

Ayah hanya tersenyum sembari mengangkat anak itu ke dalam pangkannya.

‘Aki udah siap dari tadi. Nih, emang kamu nggak lihat kalau Aki udah ganteng?’

Anak itu menatap kakeknya dengan serius. Mungkin dia heran dengan definisi ganteng yang diucapkan oleh ayah.

‘Memangnya Novan nanti mau ngapain kalo ketemu mamah?’

‘Novan mau cerita-cerita sama mamah, Ki, kalo Novan besok mau puasa. Novan juga mau berdoa sama Alloh biar mamah seneng.’

Ayah menatap cucunya dengan haru bercampur bangga. Setitik air mengalir dari ujung kelopak matanya. Hanya setitik karena ia langsung menyekanya agar tak ada yang sadar.

‘Cucu Aki memang pinter. Terus, udah hapal doanya?’

‘Udah dong, kan udah diajarin Papah. Ya kan, Pah?’

Novan turun dari pangkuan ayah dan lagi-lagi berlari menyambut sesosok lelaki yang ia panggil Papah, lelaki berkaca mata yang selalu menjadi partner in crimenya saat ‘berperang’. Lelaki itu muncul bersama ibu yang membawa sekeranjang bunga segar di tangan. Mereka berempat berjalan beriringan keluar rumah. Tepat sebelum pintu tertutup, ayah menatapku dengan lembut. Kali ini aku melihat seulas senyuman dari bibirnya.

Sekarang ruangan ini terasa sepi. Tak ada perabotan atau pernak-pernik selain kursi-kursi kosong dan meja kayu polos yang menemani. Baik ayah maupun ibu memang tak suka ruangan yang terlalu ramai. ‘Capek beresinnya,’ begitu alasan mereka. Hanya ada sebuah foto keluarga berukuran cukup besar yang tertempel di salah satu dindingnya. Foto terakhir saat kami sekeluarga dalam formasi lengkap.

Dari kejauhan, sayup-sayup kudengar doa yang mereka berikan. Semakin lama semakin jelas. 





Senin, 06 Juni 2016

Bukan Tukang Masak (Part 7): Simple Pancake for Breakfast

Bahan:
100 gr tepung terigu
1 sdm susu bubuk
1/2 sdt garam
230 ml air (satu gelas belimbing)
1 butir telur
2 sdm gula pasir
Margarin secukupnya untuk memasak

Topping:
Sesuai selera, saya menggunakan keju dan susu.

Cara membuat:
  1. Masukkan tepung terigu, susu bubuk, dan garam. aduk rata.
  2. Pisahkan putih dan kuning telur. Masukkan kuning telur ke dalam campuran terigu.
  3. Masukkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk rata. Adonan tidak perlu terlalu kental.
  4. Masukkan gula ke dalam putih telur. Kocok hingga menjadi busa.
  5. Masukkan putih telur yang telah dikocok ke dalam adonan terigu. Aduk rata.
  6. Panaskan sedikit margarin pada teflon/wajan, ratakan.
  7. Masukkan adonan pancake sesuai selera. Saya menggunakan satu setengah sendok sayur untuk setiap buahnya. Ratakan.
  8. Balik pancake agar matang di kedua sisinya. Angkat.
  9. Lakukan hal yang sama hingga adonan habis.
  10. Susun pancake di atas piring, beri taburan keju dan susu (atau topping lain yang ada)
Catatan: 
Untuk mengocok putih telur, tidak menggunakan mixer atau alat pengocok manual pun tak masalah, yang penting kocok dengan cepat hingga semuanya menjadi busa.
Porsi cukup untuk 1-2 orang.
Untuk sementara gambar tidak tersedia karena terlanjur habis sebelum sempat difoto. ^^

Für Elise: Antara Angka dan Kenangan

#30HariMenulis

-Keenam-



Dalam keramaian kelas yang ditinggal gurunya, dua orang anak perempuan berseragam putih-merah duduk bersama. Mereka asik mencipta lirik dalam bahasa India sekenanya. Sekenanya, karena 'lirik' yang dimaksud hanya berupa kumpulan dari kata-kata yang pernah mereka dengar selintas, beberapa diantaranya malah kata yang mereka ciptakan sendiri. Tak peduli benar atau salah, yang penting pas dengan musiknya. Musik yang entah mereka dengar dari mana, mungkin dari salah satu film India yang pernah mereka tonton bersama. Maklum, waktu itu hampir tiap hari stasiun televisi menayangkan film dari negeri Shahrukh Khan, jauh sebelum Shahrukh Khan seterkenal sekarang. 

Masa itu, sudah jadi kebiasaan dua anak perempuan bertubuh mungil untuk menghabiskan waktu istirahat yang cukup panjang di rumah salah satu teman mereka. Hari ini di rumah A, besok ke rumah B, besoknya ke rumah ibu yang jualan cilok C, besoknya lagi ibu yang jualan cilok D, begitulah seterusnya. Anak perempuan sekelas ngariung sekedar menghabiskan cemilan sambil nonton film balas dendamnya Mithun atau Amitabh Bachchan. Kenapa harus Mithun yang disebut? Karena anak yang rumahnya paling sering dijajah geng sekelas itu ngefans berat sama Mithun. Kenapa Amitabh Bachchan? Karena waktu itu Opa Bachchan belum terlihat sekeren sekarang #plak.

Belasan tahun kemudian, salah satu dari anak mungil itu sedang duduk sambil senyum-senyum sendiri mengingat masa lalunya yang kelam. Tunggu tunggu, ini kan ceritanya soal tanggal, apa hubungannya sama dua anak itu? Sebenernya sih nggak ada. Kalaupun mau disambung-sambungin, benang merahnya cuma satu kata, Fur Elise. Yup, benar sekali. Melodi yang dijadikan lagu India abal-abal oleh kedua anak perempuan itu ternyata berasal dari salah satu karya Beethoven yang paling terkenal. Menurut historychannel.com, Fur Elise selesai digubah pada 27 April 1810, hampir dua abad sebelum anak-anak itu lahir ke dunia. Kebetulan, salah satu anak itu juga lahirnya tanggal 27 April. Artinya, Fur Elise merupakan lagu klasik pertama yang dikenal oleh anak tersebut. Wow, wow, wow. Kebetulan yang nggak penting banget kan? Mungkin anak itu punya insting yang cukup kuat, karena sampai umurnya yang tak lagi remaja pun dia masih sering jatuh cinta dengan angka 27, jatuh cinta pada semua yang berkaitan dengan tanggal 27 April. Jika dia tahu seseorang yang lahir pada tanggal yang sama, maka dalam hati dia akan langsung berkata, 'Tanggal lahir kita sama, waaaah... jangan-jangan kita kembar yang tertukar(?)'. Bahkan pernah suatu kali dia sekelas dengan dua orang yang tanggal lahirnya sama, tapi masing-masing terpaut satu tahun. Kedua temannya itu kadang dia sebut sebagai kakak pertama dan kakak kedua. Jadi bisa dibayangkan, saat dia tahu bahwa dia mungkin lahir di tanggal yang sama dengan lagu klasik pertama yang dia dengar, lebaynya macam apa.

Mendengarkan Fur Elise, bagi anak itu adalah mendengarkan kenangan dari belasan tahun silam, ketika mereka masih jadi sepasang anak mungil yang senang memetik bunga dan menaburkannya ke sungai, ketika mereka memiliki bahasa yang sama, bahasa imajinasi.

Minggu, 05 Juni 2016

MARAH

#30HariMenulis

-Kelima-

"Jasad Janin Bayi Ditemukan di Pengelolaan Limbah Pejaten Village", begitu judul yang saya temukan sewaktu mencari berita untuk tulisan kelima ini. Sebuah artikel yang jauh lebih membuat saya geleng-geleng kepala dibanding naiknya tarif dasar listrik atau melonjaknya harga sembako menjelang Ramadhan yang (sebenarnya) sudah terprediksi dari jauh-jauh hari.

Well, what's new? Lagi-lagi berita yang sama berulang dengan pemeran dan latar yang berbeda. Tapi justru karena itulah saya tambah nggak habis pikir. Bagaimana bisa... Bagaimana bisa janin yang dikandung, dan bayi yang dilahirkan sendiri dibuang begitu saja seperti seonggok sampah yang tak berharga? Apalagi bayi yang baru lahir, makhluk ajaib yang hidup, masih rapuh dan tak punya dosa. Apa salah mereka? Yang salah itu kan perbuatan orangtuanya. Parahnya lagi, berita semacam ini sudah cukup sering mengisi slot tayang acara berita kriminal di televisi. Aborsi, pembuangan janin, bayi, besok-besok apa lagi? Mau buang harga diri? Harga diri yang mana? Sabar... sabar. Begini ya mbak-mbak, mas-mas, ibu-ibu, bapak-bapak, serta adek-adek gemes (yang saking gemesnya pengen saya ketrokin satu-satu), siapapun diluar sana yang merasa tidak mampu, tidak ingin dan belum waktunya untuk punya anak, tolong ya, jangan coba-coba memproduksi anak. Kalian aja banyak yang masih anak-anak.

Ok, kembali ke topik. Ini bukan hanya masalah kriminal biasa, tapi juga masalah pendidikan, masalah akhlak yang sudah hilang entah kemana. Dimana nilai-nilai moral dan agama yang mereka terima sedari kecil itu? Ditinggalkan di sudut gudangkah atau memang mereka tidak pernah menerimanya? Rasa malu yang seharusnya jadi perisai sudah banyak ditanggalkan, tak ada lagi rasa diperhatikan Tuhan. Membuang janin karena takut malu? Bohong! Lalu kemarin-kemarin kenapa tak ingat malu, kenapa tak dipikirkan dulu?

Hal-hal seperti ini membuat saya semakin sadar beratnya tugas dan tanggung jawab orangtua. Apalagi di jaman yang serba cepat seperti sekarang, dimana anak kecil yang makannya masih acak-acakan pun sudah bisa mengakses informasi dengan bebas, dimana orang tua banyak yang asik sendiri dengan gadgetnya dibanding menjawab pertanyaan-pertanyaan ajaib anaknya, dimana belajar agama dianggap cukup dari hasil googling semata, itupun besoknya sudah lupa. Mendidik anak dianggap sama dengan menyekolahkannya semata, itupun gurunya dilarang menghukum anak, dilarang ini, dilarang itu. Jaman dimana dosa dianggap biasa dan berbuat benar dianggap sok. Kan (nggak) lucu.

Aah.. ini harusnya menjadi peringatan keras untuk kita. Peringatan untuk menengok kembali nilai-nilai yang sudah banyak kita tinggalkan. Peringatan untuk menjaga dan mendidik generasi yang akan datang. Peringatan untuk menengok sekitar yang mungkin perlu diluruskan. Peringatan bahwa mungkin saja mereka itu adalah diri kita sendiri.

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/05/18291171/jasad.janin.bayi.ditemukan.di.pengelolaan.limbah.pejaten.village?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Sabtu, 04 Juni 2016

MIMPI

#30HariMenulis

-Keempat-

Rumah impian?
Mengapa kau bertanya padaku?
Tapi baiklah, akan kujawab.
Rumah impianku sederhana saja,
Hanya sebuah tempat yang bisa membuatku bebas melihat langit.

sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/ac/View_of_Cliffs_of_Moher.jpg

Bukankah dia begitu ajaib? Siang maupun malam, dia tak pernah beranjak. Bahkan jika kita berlari dari ujung dunia hingga ujung satunya lagi, dia masih tetap saja ada. Tapi aneh, mengapa dia tak pernah membuatku bosan? Langit selalu disana, di tempat yang sama. Tapi mengapa aku selalu merindukannya? Dan kau tahu apa lagi yang ajaib dari langit? Entah aku menengadah ke atas, memandang lurus ke depan atau menengok ke bawah, dia tetap jadi latar yang mengagumkan.
Aku bisa hanya diam seharian hanya dengan memandanginya, sambil mendengar deretan lagu yang membuatku terhanyut. Ah ya! Bicara soal lagu, bukankah langit dan lagu seperti pasangan yang serasi? Mereka, sama-sama ajaib. Kau mengerti kan maksudku?

Entah sejak kapan aku mencintai langit, aku tak ingat. Sama halnya aku tak ingat lagu yang pertama kali kudengar, atau lagu apa yang tepat menggambarkan diriku. Mungkin Disguise-nya Lene Marlin karena aku selalu merasa bingung dengan wajahku sendiri? Ah tapi tidak, nanti kau kira wajah yang kutunjukkan padamu itu palsu, padalah aku tak pernah melakukan operasi plastik, aku hanya memakai make up tebal sesekali. Ya, sesekali. Aha.. kurasa lagu yang cocok untukku adalah It’s Okay-nya BtoB, lagu dengan melodi ajaib yang mereka bilang sebagai lagu penyembuh. Eeii… tapi aku bukan dokter atau perawat. Aku lebih mirip pasien nakal yang bersikeras bilang sudah sembuh agar tak lagi disuruh minum obat. Hmh… Aku menyerah. Aku tak tahu. Aku hanya orang aneh yang jauh lebih menikmati musik daripada lirik. Saking anehnya, aku pernah menjadikan lagu tentang impian sebagai soundtrack patah hati. Orang macam apa aku ini? Jika kau tahu lagu yang sama anehnya denganku, beri tahu aku, mungkin itu bisa menjadi laguku.

Aku jadi ingat lagu yang menjadi cinta pertamaku. Lagu yang sama yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Jatuh cinta pada mereka yang tak bisa kuraih, dan jatuh cinta padamu yang tak pernah kutemui. Aah… kurasa lagu ini juga yang membuatku jatuh cinta pada langit. Hei… Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Padahal lagu ini telah menemaniku lebih dari separuh umurku. Bukankah aku bodoh sekali? Tapi memang kenapa kalau aku sebodoh itu? Toh kecintaanku padanya tak pernah berkurang. Aku selalu kembali padanya, mendengarkannya, memimpikannya. Tentu saja sambil menatap langit.

And all my love, I'm holding on forever
Reaching for the love that seems so far.

So I say a little prayer
And hope my dreams will take me there
Where the skies are blue to see you once again, my love.
Over seas from coast to coast
To find the place I love the most
Where the fields are green to see you once again, my love.



Kau juga tahu lagu itu? Tentu saja kau harus. Aku memutarnya ribuan kali hanya agar kau mendengarnya. Ya, My Love. Tidak tidak, aku tidak sedang memanggilmu. Aku hanya menyebutkan judul lagu yang kunyanyikan barusan, My Love-nya Westlife. Lagu itu, bukankah dulu kita terlalu kecil untuk memahami artinya? Tapi sudahlah, lupakan saja. Terlalu banyak bicara membatku lelah. 

Sekarang biarkan aku yang bertanya padamu, pertanyaan yang kusimpan sedari dulu, pertanyaan yang hanya bisa kusampaikan lewat angin. Bisakah kita bertemu disana, di tempat yang sama seperti lagu itu? Disana, dengan langit dan lagu yang sama sebagai latarnya. Disana, ceritakanlah padaku tentang rumah impianmu, juga tentang lagumu.

Kamis, 02 Juni 2016

PERGI

#30HariMenulis

-Ketiga-

Cuaca yang panas di luar tak dapat mencairkan suasana diantara kami. Minuman dingin di hadapanku seakan meronta minta dihabiskan, tapi aku sudah puas hanya dengan mencicipinya sedikit saja. Suasana seperti ini membawaku kembali ke masa lalu. Tempat yang sama, orang yang sama, kebekuan yang sama. Hanya pembicaraan kami saja yang berbeda, jika bisa dibilang begitu.

Siang itu, dua tahun yang lalu. Tiga puluh satu hari sebelum tanggal pernikahan kami, pria yang duduk di hadapanku berkata bahwa  hatinya telah berubah, bahwa tak ada lagi cinta disana yang tersisa untukku, dan bahwa kami harus berhenti disini sebelum terlambat. Iya, kami. Tapi hati manusia mana yang tak pernah berubah? Bahkan batu yang keras pun bisa berubah wujud. Sungguh klasik.

Mungkin apa yang dikatakan olehnya memang benar. Tapi ah! Menyebalkan sekali. Kenapa dia tak mengatakannya lebih awal daripada menunggu sampai sedekat itu ke hari pernikahan? Dengan begitu waktuku takkan terbuang sia-sia dan waktunya takkan habis tersiksa. Dan lebih dari semua itu, aku harus memikirkan make up yang akan kupakai keesokan harinya untuk menutupi wajah bengkak dan mata sembabku karena menangis semalaman.

Dan sekarang, pria yang sama mengucapkan hal sebaliknya. Permohonan maaf, penyesalan, dan kerinduan menjadi tema pembicaraannya. Aku jadi ragu, benarkah cinta yang katanya telah mati itu sekarang hidup kembali? Atau jangan-jangan dia hanya tak bisa melupakan rasa bersalahnya. Hm… Pikiran jahatku kembali muncul dan mengatakan hal aneh, bahwa dia kembali hanya karena tak menemukan pengganti yang lebih baik dariku. Ah pria… Apa kalian memang selalu seenaknya begitu? Apapun itu, aku sudah tak terlalu peduli.

Seorang pria muda melambaikan tangannya dari seberang jalan, tangan yang satu lagi dipakai untuk mendekatkan ponsel ke telinganya. Aku mengangkat ponselku sambil menatapnya.

“Bentar lagi, ya.”

Dia mengangguk sambil tersenyum pertanda mengerti.

“Jangan lama-lama, Teh. Disini panas.”

Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.

Pria tampan yang memanggilku dengan sebutan ‘Teteh’ itu bukanlah adikku, bukan pula teman adikku ataupun adik kelasku dulu. Dia hanyalah pria yang usianya terpaut enam tahun denganku, pria yang dengan susah payah membuatku percaya padanya, dan pada diriku sendiri. Dia juga orang yang membuatku berani datang kesini dan menghadapi bagian masa laluku yang tak menyenangkan ini.

“Apa gara-gara dia?” Pria yang duduk di hadapanku mencoba menyimpulkan sendiri.

“Iya,” 

“Dia seperti hadiah yang diberikan Tuhan, hadiah manis yang tak bisa kutolak. Tapi, bahkan walau dia tak pernah hadir dalam hidupku, kita tetap takkan bisa seperti dulu.”

“Apa kau masih belum bisa memaafkanku?”

“Memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Aku sudah memaafkanmu, tapi aku tak bisa kembali dengan ingatan buruk dalam hatiku, kan?  Kenangan bukanlah jejak yang bisa kita hapus semau kita, bukan?”

Helaan napasnya yang berat terdengar jelas, seakan sedang mencerna semua informasi yang diterima dengan berat hati.

“Jadi sedalam itu ya, rasa sakitmu dulu?”

Sebuah pertanyaan yang tak perlu kujawab.

"Baiklah, aku mengerti." Lanjutnya sembari menurunkan kembali tangannya yang sejak tadi tergenggam erat di atas meja. Senyumnya yang jelas sekali dipaksakan menandakan pertemuan kami telah usai.

Aku memberinya senyum terakhir sebelum pamit. Kali ini aku benar-benar tulus, tak seperti kepergianku dua tahun lalu. Tak lupa kuberikan pula selembar kertas tebal dengan tinta perak bertuliskan namaku dan pria di seberang jendela itu. Pria yang menemaniku menyeberangi jembatan yang tak bisa kuseberangi dengannya. Pria yang masih menungguku di tempat yang sama walau dia bilang kepanasan. Pria yang sedang menyambut kedatanganku dengan senyuman.

Rabu, 01 Juni 2016

CERMIN

-Pertama-

Buku terbaik. Untuk tulisan pertama ini jujur saja saya cukup bingung untuk memutuskan buku mana yang menjadi buku terbaik versi saya. Ada beberapa buku yang saya jadikan kandidat, seperti Sherlock Holmes yang hampir semua kisahnya tak pernah membuat saya bosan walau telah ratusan kali saya baca, atau Gone With The Wind yang endingnya benar-benar sesuai dengan judulnya, serta beberapa buku bertema psikologi yang selalu menarik perhatian saya. Tapi akhirnya pilihan saya jatuh pada buku dengan cover hitam yang menggambarkan suasana malam, sebuah buku yang berjudul Pantang Padam karya Mbak Yulia E.S.

Tepat dua tahun lalu, saya mendapat kepastian dari dokter tentang kondisi tulang belakang saya. Saat itulah saya mulai membaca tulisan-tulisan dari sesama skolioser dan bagaimana mereka menghadapi vonis yang cukup mengejutkan (tapi tidak mengejutkan) tersebut. Dari situ saya menemukan blog milik Mbak Yulia dan akhirnya tertarik untuk membaca bukunya. Selain itu, karena sekarang juga adalah bulan Juni yang merupakan bulan sadar skoliosis, rasanya tak salah jika saya memilih buku ini sebagai buku terbaik yang pernah saya baca. Sekalian kampanye. Hehe. Mungkin banyak yang masih merasa asing dengan skoliosis yang entah berapa kali muncul dalam tulisan saya ini. Intinya sih, skoliosis adalah kelainan tulang belakang dimana tulang melengkung ke samping membentuk huruf S atau C.

Pantang padam bercerita mengenai pengalaman penulis khususnya dalam berdamai dengan dua kelebihan yang dimilikinya, yaitu skoliosis dan MVP. Buku ini tidak hanya bercerita mengenai bagaimana penulis berjuang masa-masa sulitnya, akan tetapi bagaimana kita harus bangkit dari keterpurukan terlepas dari apapun kondisi kita. Memang banyak buku serupa, akan tetapi membaca buku dari seseorang yang memiliki pengalaman yang hampir sama tentu rasanya berbeda. Ada kalanya kesedihan, ketidaknyamanan, dan ketakutan mengambil alih perasaan kita. Manusiawi memang, tapi bagaimanapun juga kita tak boleh terlena, karena kelemahan terbesar bukanlah kondisi fisik, melainkan ada dalam pikiran kita (dan itulah bagian tesulitnya).

Dikemas dengan cukup ringan, buku ini juga berisi banyak informasi mengenai skoliosis dan MVP, sangat cocok bagi siapapun yang mungkin memiliki pengalaman yang sama, atau pembaca yang penuh rasa ingin tahu, dan tentunya siapapun yang mungkin sedang melupakan senyumnya di suatu tempat. Ah... Satu hal lagi yang tak pernah saya lupakan dari buku ini adalah kecintaan penulisnya terhadap alam, yang selalu membuat saya ingin pergi ke gunung dan berdiam diri, lalu pergi ke pantai dan berdiam diri lagi, menatap langit yang sebenarnya tak pernah pergi (Ok, sekarang saya fix ngelantur).

Membaca buku ini seakan menampar saya dan mengajak untuk bangun dan menoleh kembali, mengingat bagaimana dulu saya tersenyum dan menjalani hidup dengan ‘normal’ dan untuk menemukan mimpi-mimpi yang sempat saya lupakan. Saya jadi merasa punya teman yang mengerti apa yang saya alami, bahwa bukan saya yang berlebihan, bahwa saya tidaklah sendirian, dan untuk menyalakan kembali lilin semangat saya dan menjaganya agar tak lagi padam. Bukan hal yang mudah, tapi tak mustahil.