Minggu, 19 Juni 2016

Bukan Tukang Masak (Part 8): Ayam Krispi

#30HariMenulis

Tak terasa sudah hari ke-19. Semangat menulis juga sudah mulai susah dijaga. Tapi berhubung hari ini temanya bebas dan kebetulan juga saya lagi bahagia, maka saya putuskan untuk berbagi kebahagiaan dalam bentuk resep. Ditambah bumbu curhat tentunya.


Benar kata orang, bahagia itu sederhana, cukup dengan sepiring ayam goreng. Bukan sembarang ayam goreng, karena sudah sekian lama sejak saya bermimpi untuk bisa membuat ayam krispi sendiri. Dan, taraaaa... setelah melalui banyak kegagalan dan hanya berkutat dengan tempe krispi, sosis mie krispi, tahu krispi, skripsi krispi #eh, akhirnya hari ini saya punya kesempatan untuk mewujudkannya, ayam krispi yang saya beri nama 'Mingyu n Me Cikin (치긴)', bukan chicken yah.

Kenapa namanya aneh begitu? Jadi ceritanya beberapa waktu terakhir ini saya sedang tergila-gila dengan boyband Seventeen. Nah, ada salah satu program dimana mereka harus bertahan hidup di sebuah pulau. Mancing sendiri, nyari sayuran sendiri, masak sendiri, dan semua serba manual. Di salah satu episode, mereka diberi ayam mentah sebagai hadiah kejutan. Benar-benar kejutan karena yang ada dalam bayangan mereka adalah ayam krispi siap saji yang tinggal makan. Tapi berkat tangan serba bisanya Kim Mingyu (rapper yang merangkap koki, merangkap tukang) mereka berhasil menyulapnya menjadi ayam krispi yang rasanya nggak kalah dari yang dijual di restoran. Jadilah saya sedikit nyontek tips dari dia, walaupun dalam prosesnya sama sekali nggak mirip.

Bahan-bahan:

  1. 1/4 kg ayam, potong menjadi beberapa bagian.
  2. 8 sdm tepung terigu, bisa disesuaikan.
  3. Garam secukupnya
  4. Penyedap rasa ayam
  5. Merica bubuk
  6. Ketumbar bubuk
  7. Air
  8. Minyak goreng
Cara membuat:
  1. Rebus ayam hingga matang, tambahkan garam dan penyedap rasa, tiriskan.
  2. Campur tepung terigu, sedikit garam dan penyedap rasa, merica, dan ketumbar. Aduk rata.
  3. Masukkan air sedikit demi sedikit ke dalam campuran terigu dengan perbandingan 1:1. Jika terasa terlalu kental, bisa tambahkan sedikit tepung terigu.
  4. Masukkan ayam ke dalam adonan, remas-remas hingga ayam terbalut  sempurna. Pastikan balutan tepungnya agak tebal dan terlihat 'keriting'.
  5. Panaskan minyak goreng, lalu goreng ayam hingga berwarna keemasan. Angkat dan sajikan selagi hangat.
Nah, untuk hari ini hanya itu yang bisa saya tulis. Jika di kemudian hari saya menemukan resep yang lebih te o pe, dengan senang hati saya akan apdet disini.

Sabtu, 18 Juni 2016

Sembilan Belas Tiga Puluh

belum ada satu momen bersejarah yang pantas untuk diceritakan. Tapi untuk menulis kembali salah satu peristiwa bersejarah di Indonesia atau bahkan dunia rasanya juga saya bukan ahlinya. Tapi ada satu masa dimana saya ingin mencoba merasakan hidup di zaman tersebut, yaitu tahun 1930-an.
Memang saya rasa itu bukan tahun terbaik jika kita ingin ber-time travelling kesana. Masa itu Indonesia masih berada dalam pendudukan kolonial Belanda. Banyak pejuang kita yang diasingkan dan dibatasi pergerakannya, misalnya saja sang proklamator, Bung Karno. Pun kondisi dunia secara umum tak begitu baik karena saat itu dunia dilanda krisis dan juga merupakan masa awal terjadinya perang dunia kedua. Di sisi lain, Jepang juga telah memulai pergerakannya untuk menguasai Asia.
Tapi pada periode tersebut, Indonesia memiliki sastrawan-sastrawan terbaik yang kita kenal sebagai angkatan Pujangga Baru. Beberapa nama yang tak asing seperti Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane mengeluarkan karya-karya terbaiknya.
Selain itu, saya juga merasa tertarik dengan fashion pada masa tersebut. Dimana para pria masih banyak yang mengenakan jas dipadukan dengan sarung, wanita dengan kebaya atau baju terusan selututnya. Anggun sekali. Tidak semua orang dapat mengenakannya memang, tapi tetap saja menarik.

Kamis, 16 Juni 2016

Menunggu

#30HariMenulis
-enambelas-

“Sudah tiga jam.”
“Sabarlah.“
“Salahku. Ini salahku. Kalau aja….”
“Jangan berandai-andai. “
“Dia pasti kesepian.”
“Dia tahu kita ada disisinya.”
“Dia pasti kesakitan.”
“Dia sedang berjuang.”
“Kalau saja aku tahu dari awal…”
“Siapa yang menyangka hal seperti ini bisa terjadi padanya?”
“Tapi aku harusnya lebih peka! Kasihan dia, selama ini menderita. Sementara aku?”
“Bisa diem nggak sih? Kalau kamu ngoceh nggak jelas terus mending pulang sana! Kamu sama sekali nggak bantu dia. Kamu pikir dia bakal seneng denger semua yang kamu bilang barusan? Nggak! Dia nggak butuh semua itu.”
Untuk sesaat, keduanya terdiam.
“Berdoa. Hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang untuknya.”
“Maaf. Kamu bener. Harusnya aku nggak kayak gini. Maafin Mama, Nak.”
“Aku mengerti. Aku juga sama sakitnya sepertimu. Tapi kalau kita nggak kuat, gimana Daffa bisa kuat lewatin ini semua?”
“Papa benar.”
Pintu di hadapan mereka terbuka, seorang pria paruh baya muncul dengan wajah kelelahan.

“Alhamdulillah,”

Rabu, 15 Juni 2016

Renungan Malam

Dimana rasa malu kita,
Ketika lisan ini begitu cepatnya mengumbar kebencian?
Dimana rasa malu kita,
Ketika ucapan hanya berisi kumpulan aib orang?
Dimana rasa malu kita,
Ketika tangan ini menunjuk wajah yang bahkan tak pernah kita temui?
Sedang apa kita,
Lupa akan budi hanya demi sebuah eksistensi?
Yang tua tak lagi dapat hormat,
Yang muda katanya haus perhatian.
Mau menolong takut salah sasaran,
Tak ditolong dia kesusahan.
Dibiarkan, menderita.
Dibantu, tertipu.
Sedang apa kita,
Takut menunjukkan jati diri.
Berbeda salah, sama pun mustahil.
Sedang apa kita,
Ribut mengurusi rumah orang lain,
Rumah sendiri ditelantarkan.
Siapa kita,
Yang sibuk sendiri di persinggahan,
Lupa pada tujuan.

#30HariMenulis
-Limabelas-

Selasa, 14 Juni 2016

Hitam-Biru

#30HariMenulis
-empatbelas-

Lautan hitam-biru terbentang di depan mata. Menakjubkan. Tapi bukan yang banyak itu yang membuat bibir ini tak berhenti tersenyum sepanjang hari. Disana, puluhan, tidak, ratusan meter di bawah sana, ada sosok-sosok dengan warna yang sama berlarian mengejar si bundar yang seakan tak kenal berhenti. 
  
Tak ada hari bahagia tanpa cerita. Ada satu hari bahagia yang masih terekam dalam memori saya. Satu hari yang kisahnya dimulai bertahun-tahun sebelumnya, ketika saya menonton pertandingan bola di salah satu stasiun TV swasta. Siapa yang mengira saat itu ada yang membuat saya jatuh cinta. Bukan pada satu, tapi dua hal sekaligus. Cinta pertama, dan cinta pada pandangan pertama (banyak banget ya cinta pertama saya? Sudahlah). Dan, hari itu akhirnya datang juga. Penantian saya nggak sia-sia. Inter datang ke Indonesia!

Heol! Saya masih bisa tahan melewatkan konser Beast yang diselenggarakan dua bulan sebelumnya. Tapi sekarang nggak lagi. Saya harus bisa nonton langsung. Mimpi Giuseppe Meazza mungkin masih terlalu jauh, tapi SGBK hanya di Jakarta. Hanya Jakarta. Terbayang Om Zannetti manggil-manggil saya dengan senyum khasnya. Akhirnya setelah melewati kegalauan dan dengan berbagai pertimbangan, rasa cinta sayalah yang menang. 
Semakin siang, suasana makin mencair. Panas terik matahari tak pernah jadi masalah. Sambil menunggu petang, kami menelusuri jejak sejarah klub yang berdiri tahun 1908. Tiket cantik di tangan terasa bagaikan permata. Muka yang nggak kobe karena terpapar panas seharian nggak lagi saya pedulikan. Begitu Om Zannetti dan kawan-kawannya memasuki lapangan, rasanya… deg degan? Takjub? Saya hanya, bahagia.

Satu stadion bersorak untuk tim yang sama, keduanya. Tak ada lawan, semua kawan. Keren, tapi agak ngeri, sih, sama kelakuan ‘aneh’ temen-temen supporter yang lain. Barangkali itu memang bumbunya, saya nggak ngerti. Saya hanya bisa nonton sambil berdoa semoga bisa selamat sampai pulang nanti. 

Hanya satu hal yang kurang hari itu. Satu-satunya orang yang membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang membuat gol pada menit pertama dia memasuki lapangan. Gol pertama untuk timnya setelah cukup lama bermain dengan skor kacamata. Julio Ricardo Cruz. Dia memang tak lagi disana, tapi dia tetap di hati saya. ^^