Kamis, 06 Agustus 2015

Sewa Tenda oh Sewa Tenda....

Baru saya saya chatting dengan salah seorang sahabat, melanjutkan obrolan ngalor-ngidul yang kemarin sempat terpotong. Dari topik yang satu ke topik yang lain, tidak jelas batas pemisahnya, sampai akhirnya kami tiba pada masalah bisnis jasa. Kebetulan sahabat saya yang satu itu keluarganya juga memiliki bisnis serupa. Saya curhat mengenai ketidakpuasan saya terhadap salah satu penyedia jasa yang baru-baru ini kami pakai. Tapi tentunya tidak mungkin juga saya meluapkan semuanya sama dia, lha yang mau saya komplain kan bukan dia hehe.
Lalu apa saya bisa komplain kepada yang punya usaha tersebut?  Bisa saja, tapi untungnya semua telah diselesaikan oleh ibu saya, karena jika saya ikut kesana mungkin bakat pemarah saya yang terpendam bisa keluar tiba-tiba. Lalu kenapa saya masih menulis disini? Mh, mungkin saya hanya ingin mengeluarkan apa yang masih mengganjal di hati, sekaligus agar bisa menjadi pengingat untuk ke depannya agar lebih berhati-hati.
Jadi ceritanya bermula ketika keluarga kami akan mengadakan syukuran. Bisa dibilang ini acara cukup besar pertama di rumah, sehingga banyak hal yang masih belum terbayang dan disitulah peran para tetua dalam memberi masukan. Setelah waktu dan format acara siap, yang tersisa tinggal teknisnya. Nah, disinilah masalah dimulai.
Suatu hari, ibu saya tanpa ba bi bu pergi ke tempat penyewaan tenda terdekat dari rumah.Saat itu perasaan saya sudah tidak enak tapi saya biarkan saja karena sepertinya memang beliau tidak berniat untuk mendatangi tempat lain.
H-2 tenda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Ok sampai saat ini belum ada masalah. Kami pun sibuk menyiapkan konsumsi mulai dari belanja dari dini hari, potong ini-itu, siapkan bumbu bla bla bla... butuh lebih dari dua hari untuk menyiapkan semuanya, dan bahkan sampai hari-H masakan baru selesai. Tapi itu biasa terjaddi, karena makanan yang disajikan memang harus fresh bukan? Lalu dimana masalah utamanya?
Sore hari pada H-1, kursi, meja prasmanan dan peralatan masak lainnya sampai di rumah. Saya tidak terlalu memperhatikan karena memang di dapur masih cukup sibuk. Kami, termasuk yang menerima barang di depan percaya saja pada mereka dan tidak memeriksa kondisi barang secara detil. Begitu pun pegawai tempat tersebut, setelah menyimpan barang di depan langsung pergi tanpa ba bi bu. Kami sebenarnya kaget melihat kondisi meja untuk prasmanan yang sudah tidak layak. Tapi karena akan diberi taplak kami pikir mungkin tidak akan terlihat. Lalu dimana taplaknya, saya menemukan salah satu diantaranya ada di kolong meja dalam kondisi sangat kotor dan kucel. Kami semua kaget, apalagi tidak ada waktu untuk mencucinya dulu. Lalu datanglah salah seorang pegawai tempat tersebut yang juga terlihat bingung, lalu menyarankan untuk membawa dan mencucinya. Ketika kami meminta untuk mengganti saja semuanya pegawai itu mengatakan tidak punya stok! Bayangkan, tempat penyewaan tenda yang sudah beroperasi bertahun-tahun hanya punya satu set taplak dan itu pun tidak pernah dicuci? Hmh... lalu saat saya bertanya tentang paku payung, itu pun tidak disediakan. Jangan ditanya apakah ada pegawai yang membantu memasangkannya, karena jawabannya tidak. Akhirnya satu taplak yang paling kucel itu dibawa untuk (katanya) dicuci, dan baik pegawai maupun taplaknya tak pernah kembali. Kami akhirnya menemukan kain yang ditumpuk dengan taplak lainnya  dan berwarna sama untuk digunakan sebagai pengganti taplak. Tak ada taplak apapun jadi.  
Sehabis magrib ketika sudah tidak ada lagi yang bisa saya kerjakan saya memiliki kesempatan untuk mengecek peralatan makan. Saat itu saya sudah heran melihat piring yang diletakkan paling atas kondisinya sangat sangat sangat kotor. Its a bad sign. Again. Saya lihat sendoknya juga tak kalah mengerikkan. Alamat harus dicuci semua inimah. Sambil mencuci, saya hitung jumlahnya tak sampai pada angka yang kami pesan, kurangnya lebih dari 50 buah, belum lagi yang tak layak pakai hampir 30 buah. Beralih ke piring yang juga ternyata sama saja. Kondisinya banyak yang kotor, urangnya lebih dari 50 dan hampir 30 buah sudah tidak layak, belum ditambah bentuk dan warnanya yang tidak seragam. Rasanya saat itu juga saya ingin bertemu dengan pemiliknya dan mengcancel semua pesanan. Bayangkan saja setelah lelah seharian, ketika saatnya istirahat, ketika yang lain masih sibuk memasak, acara cuci-mencuci dan lap'mengelap piring dkknya baru selesai jam 3 dini hari! Coba kalau kami tidak cek dulu, tidak hitung dulu semua mungkin para tamu harus menggunakan kertas nasi tanpa alas. 
Masalah lain timbul setelah acara selesai dan kursi-kursi mulai diangkut kembali. Para pegawai tersebut protes karena jumlahnya kurang. Awalnya mereka bilang tujuh, lalu setelah dihitung ulang mereka mengatakan kurang dua belas. Kemana kursiny? Apa dipikir kami menyembunyikannya untuk dipakai di rumah? Atau tamu ada yang iseng membawa pulang? Kursi yang bahkan sudah terlihat usianya itu? Untuk apa? Bahkan kursi-kursi milik mereka tidak ada satu pun yang keluar dari pagar rumah. Ok ini salah kami karena saat kursi datang kami hanya percaya tanpa menghitungnya seperti yang kami lakukan pada piring dan sendok yang malang. Ketika saya menyinggung masalah itu barulah mereka mengakui mungkin anak-anak yang membereskannyalah menghitung kemarin. Jadi bukan kalian yang mengawasi? Yang menghitung? Bahkan ternyata sejak awal mereka sadar bahwa alat makan yang mereka kirim jumlahnya kurang. Kenapa tidak bilang dari awal? Apa jika kami tidak menghitung dan tidak menyinggungnya kalian akan diam saja? Lalu kami membayar untuk apa? Itulah yang ada dalam pikiran saya saat itu. Bahkan mereka masih bisa menawarkan untuk menyampaikan uang sewanya melalui mereka. Iya biasanya begitu, kalau saja semua sesuai kontrak. Tapi tunggu dulu, kami harus bertemu secara langsung dengan pemiliknya dan minta penjelasan. Enak saja. 
Keesokan harinya ibu saya yang pergi untuk melunasi pembayaran sekaligus komplain. Walaupun saya yakin ibu saya akan bicara dengan jauh lebih lembut dan tak tampak seperti komplain. Benar saja, kami mendapat potongan harga, hanya untuk barang yang tidak ada. Untuk alat makan yang jumlahnya puluhan yang tidak layak iti tetap harus kami bayar, untuk yemat buah yang tidak ada atapnya itu teyap hatus kami bayar. Full. Beliau katanya sudah meminta pegawainya untuk menyampaikan bahwa alat makannya kurang, tapi kami tidak menerima pemberitahuan apapun. Beliau juga mengatakan bahwa kain yang bersama denhan taplak itu sebenarnya untuk rak buah, tapi orang yang biasa memasangkannya sudah lama tidak ada, tapi kami tidak diberi tahu sebelumnya. Masalahnya bukan pada harga yang hanya dikurang beberapa persen(karena barangnya memang tidak ada), tapi pada pelayanan yang sangat mengecewakan. Mengapa saat kami memesan beliau tidak mengecek dulu barang dan hanya menyanggupi semuanya? Mengapa yang diperlihatkan hanya yang bagus sementara yang datang tak semuanya seperti itu? Mengapa harus menunggu kami komplain baru mengaku? Kalau memang tidak sanggup kan bisa bilang sanggupnya berapa, bisa bilang bahwa tidak ada yang bisa memasang ini itunya, jelaskan saja biar kami kerjakan sendiri, tapi setidaknya semua pasti. Kalau seperti itu ceritanya sih saya jamin tidak akan ada yang berani kesana dua kali. Bahkan yang sudah kesana pun akan merekomendasikan orang lain untuk ke tempat yang lain saja. Iya kan?
Setidaknya ada beberapa pelajatan yang bisa saya ambil dari kejadian ini:

  1. Saat memilih tempat penyewaan sebaiknya pilih yang banyak direkomendasikan orang lain. Sebaiknya survey ke lebih dari satu tempat jika memang ada waktu.
  2. Saat survey, kalau bisa kita mengecek semua barang yang akan dipakai, biar saja disebut ribet daripada kena zonk.
  3. Saat penyerahterimaan barang, cek kembali jumlah dan kondisinya di hadapan pihak yang menyewakan agar kedua belah pihak merasa nyaman.
  4. Hal ini berlaku pula dalam memilih katering atau yang lainnya.

Semoga tidak ada yang mengalami nasib serupa seperti kami. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar